Skip to main content

Kerja Sama Swap Arrangement dalam Rangka Crisis Management dan Fasilitasi Perdagangan Internasional dan Investasi

Perkembangan ekonomi global dan regional yang belum menggembirakan semakin mendorong BI untuk terus meningkatkan kewaspadaan risiko krisis yang membayangi. Penguatan mekanisme regional self help kawasan terus diperkuat di tengah situasi yang masih belum menggembirakan. Kondisi nilai tukar Rupiah yang masih berada dalam tekanan semakin menguatkan seluruh negara emerging untuk semakin mempercepat efektivitas jaring pengaman keuangan kawasan. Sebagai salah satu skema kerja sama regional financial arrangement, Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) terus diperkuat. Kerja sama dalam bentuk pooling fund sebesar USD240 miliar yang dikumpulkan oleh seluruh negara ASEAN+3 menjadi andalan dalam upaya mengatasi risiko permasalahan likuiditas dan sebagai bantalan (cushion) neraca pembayaran. 

Perjanjian CMIM yang masih dalam tahap finalisasi sebelum pemberlakuan secara efektif terus diperkuat dengan penyusunan Operational Guideline sebagai upaya menciptakan kelancaran dalam implementasinya. ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) yang berperan sebagai unit surveillance kawasan dalam rangka CMIM juga tengah diupayakan untuk mendapatkan pengakuan sebagai international organization (IO). 

Proses AMRO untuk menjadi IO diharapkan akan segera terwujud dalam waktu dekat dengan telah dicapainya konsensus prinsip atas AMRO Agreement sebagai dasar hukum bagi AMRO menjadi organisasi internasional. Lebih lanjut diharapkan AMRO akan memiliki kredibilitas dan objektivitas yang diakui oleh seluruh Members dan dapat berkontribusi terhadap stabilitas keuangan kawasan demi penguatan CMIM. 

Tidak hanya CMIM, penguatan self help mechanism oleh BI diupayakan melalui jalan bilateral dengan berlaku efektifnya perjanjian Bilateral Swap Arrangement (BSA) dengan Bank of Japan (BOJ) atas nama Kementerian Keuangan Jepang pada 20 Desember 2013. kerjasama tersebut memungkinkan Indonesia dapat memiliki buffer bagi permasalahan likuiditas dan/atau dukungan neraca pembayaran sampai dengan USD22,76 miliar dengan skema baru. Berbeda halnya dengan skema BSA sebelumnya, skema kali ini memungkinkan BI untuk memperoleh fasilitasi precautionary line dengan dana standby yang dapat ditarik sewaktu-waktu jika diperlukan, di samping fasilitas penanangan krisis yang sebelumnya telah ada. 

Kerja sama swap arrangement tidak hanya dilaksanakan dalam konteks crisis management. Melihat peningkatan prospek perdagangan internasional dan investasi cross border, dunia usaha memerlukan ketersediaan mata uang lokal yang cukup. Kebutuhan ini dapat difasilitasi dengan menggunakan mekanisme currency swap arrangement. Pada 1 Oktober 2013, BI telah menandatangani kerjasama Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) dengan bank sentral China (People’s Bank of China /PBC) yang memungkinkan kedua belah pihak dapat melakukan swap mata uang lokal senilai CNY100 miliar atau ekuivalen Rp175 triliun. Melalui bank sentral kedua belah pihak, dunia usaha dapat mengajukan kebutuhan mata uang lokal untuk keperluan perdagangan bilateral dan investasi. Kerjasama serupa saat ini juga sedang dijajaki BI dengan Korea dan Australia.

Comments

Popular posts from this blog

Outlook Ekonomi Indonesia 2010

Krisis keuangan global pada tahun 2008 sedikit banyak masih berpengaruh terhadap geliat ekonomi nasional pada tahun 2009. Tahun 2007 pertumbuhan ekonomi dunia mencapai angka yang cukup tinggi yaitu sebesar 5,2%. Namun pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi dunia melambat menjadi 3%, dan bahkan pada semester ke dua tahun 2009 jatuh ke level negatif pada angka -1,1%. Namun setelah kuartal ke tiga tahun 2009, ekonomi dunia mulai menggeliat dari keterpurukan akibat krisis keuangan global. Dampak krisis global kepada perekonomian Indonesia dapat terlihat dari nilai pertumbuhan GDP pada kuartal ke empat tahun 2008 yang berkontraksi sebesar -3,65%. Pada saat itu inflasi juga cukup tinggi yang mencapai puncaknya pada bukan September 2008 sebesar 12,14%. Kondisi tersebut memaksa Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan untuk mematok BI-Rate cukup tinggi sebesar 9,5% pada bulan November dan Desember 2008. Pada saat itu pun cadangan devisa Indonesia berkurang sebesar USD 7 miliar hingga ke tingkat U

DIPLOMASI TENUN, KOPI, DAN TARIAN

Hari itu pastinya akan selalu dikenang oleh bu Dayu. Bagaimana tidak? Ini adalah kali pertamanya bu Dayu naik pesawat.  Pesawat ini membawanya ke Jakarta. Di sana Bu Dayu diantar menuju ke sebuah hotel bintang lima di bilangan Senayan. Bu Dayu akan menunjukkan kebolehannya dalam mengolah mesin cag cag dan memintal seutas demi seutas benang menjadi sebuah kain yang indah. Dan keahliannya ini akan disaksikan langsung oleh Madame Lagarde, pimpinan tertinggi lembaga bergengsi dunia bernama International Monetary Fund (IMF). Bu Dayu bukanlah seorang pakar fashion ataupun desainer kain. Dia adalah seorang wanita paruh baya yang sebelumnya bahkan tidak memiliki pekerjaan tetap. Di desanya, di Kabupaten Jembrana, Bali, tidak banyak lapangan pekerjaan yang hal yang dapat dilakukannya untuk mendapatkan uang untuk membuat dapurnya tetap mengepul.  Sampai pada tahun 2015, bu Dayu bergabung dalam sebuah kelompok tenun lokal yang tengah dibina Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi B

Mutlak! Diversifikasi Pembangkit

Baru saja saya baca artikel di Media Indonesia mengenai pemberian stimulus fiskal bagi pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Beberapa quote dari Bapak Fabby Tumiwa juga pernah saya dengar langsung dari beliaunya. Pembangunan pembangkit non-BBM akan membantu PLN mengantisipasi lonjakan harga minyak dunia yang tidak terduga. Karena ada estimasi pada 2012, harga minyak akan melonjak ke angka USD120 per barel Pernyataan Fabby tersebut cukup logis. Mengapa? Saya bersama teman-teman pernah membuat sebuah kajian mengenai ketenagalistrikan di Indonesia. Fakta yang saya temui cukup mencengangkan. Dengan kondisi harga minyak pada tahun 2008 sempat mencapai USD147 per barel, tarif listrik di Indonesia masih menggunakan TDL 2003. Karuan saja PLN rugi terus karena komposisi input bahan bakar bagi pembangkit di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil (>75% sumber energi pembangkit listrik menggunakan minyak dan batubara). Padahal semakin mahal harga minyak dunia maka komposisi biaya