Sejak dasawarsa 1960-an, ritel modern telah masuk ke Indonesia. Saat itu berdirilah Sarinah dengan format Department Store. Seiring dengan berjalannya waktu, muncul pula berbagai peritel lain yang bergerak pada bidang usaha ritel seperti Golden Truly, Hero, Pasaraya Blok M maupun Ramayana.
Kreativitas pelaku usaha ritel dalam menangkap peluang pasar mengakibatkan munculnya berbagai jenis format ritel baru seperti minimarket, convenience store, maupun supermarket. Ceruk-ceruk pasar mulai bermunculan seiring dengan semakin berkembang pesatnya ekonomi Indonesia pada awal dekade 1990.
Pada tahun 1998, peritel asing mulai merangsek masuk ke bisnis ritel di Indonesia. Sebut saja Carrefour yang menawarkan konsep format one stop shopping berupa hypermarket. Disebut one stop shopping karena hampir semua jenis produk ada dan dijual di sana mulai dari produk-produk ritel modern pada umumnya seperti kebutuhan sehari-hari, makanan ringan, peralatan rumah tangga (appliances), bahkan kendaraan bermotor pun tersedia di sana.
Fenomena Pasar Dua Sisi (Two-Sided Platforms) dalam Ritel Modern. Pada dasarnya, ritel modern menghubungkan kebutuhan konsumen akhir dan produsen yang memproduksi barang kebutuhan tersebut, fenomena inilah yang disebut dengan fenomena pasar dua sisi.
Pada sisi pasar yang pertama, peritel mencari produsen yang berminat untuk men-display hasil produksinya di gerai ritel modern tersebut. Dalam hal ini, peritel dapat mengenakan biaya (fee) atas display produk dari produsen. Biaya tersebut diatur dalam syarat perdagangan (trading terms) yang disepakati bersama oleh peritel dan pemasok. Dengan kata lain, pada sisi pasar ini peritel menjual jasa penjualan ritelnya kepada produsen.
Pada sisi pasar yang kedua, ritel modern menyediakan berbagai macam item produk yang dijual kepada konsumen. Dalam hal ini, konsumen tidak lagi harus pergi ke beberapa toko untuk sekedar mencari sabun mandi sekaligus elektronik, semua ada dalam satu tempat yang nyaman dengan harga yang bersaing. Konsep one-stop shopping inilah yang menyebabkan jumlah konsumen ritel semakin meningkat, sehingga sisi pasar konsumen mampu berkembang dengan pesat.
Seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menyebabkan daya beli konsumen menjadi naik, peritel tidak lagi harus susah payah mencari produsen yang berkenan memasok barang kepadanya. Pemasoklah yang saat ini berusaha untuk dapat menembus pasar ritel agar dapat dikenal oleh konsumen. Hal inilah yang memberikan ritel modern kekuatan pasar yang semakin lama semakin signifikan.
Akuisisi Carrefour terhadap PT. Alfa Retailindo Dari sejumlah peritel asing yang memasuki pasaran Indonesia, Carrefour merupakan peritel yang keberadaannya paling menonjol. Keperkasaan Carrefour dapat dilihat dari laporan majalah Retail Asia, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2006 saja, Carrefour dengan 24 gerai yang dimilikinya mampu menduduki peringkat kedua perolehan omzet di Indonesia, yakni Rp. 7,23 triliun.
Pada pertengahan tahun 2007, keinginan Carrefour untuk mengakuisisi PT. Alfa Retailindo mulai terdengar. Hal tersebut kemudian terbukti dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Carrefour, PT. Sigmantara Alfindo dan Prime Horizon Pte.Ltd untuk membeli saham PT Alfa Retailindo, Tbk. sebesar 75%, yang kemudian disusul dengan penandatanganan perjanjian jual beli saham pada tanggal 21 Januari 2008.
Setelah melakukan akuisisi, dari 30 gerai ex-Alfa, sebanyak 14 gerai berganti nama menjadi Carrefour Express, sementara 16 gerai menjadi Carrefour dan menutup satu gerai. Dengan demikian, pasca akuisisi Alfa Retailindo, Carrefour beroperasi di dua format yaitu format hypermarket dan supermarket.
Perkara Carrefour di KPPU
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Carrefour dan ritel modern lainnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan memasok barang dari pemasok dan menjualnya kepada konsumen. Karena itu Carrefour tidak akan hidup tanpa keberadaan konsumen dan pemasok secara bersamaan.
Keberadaan format ritel modern saat ini memang memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen. Konsep one stop shopping memudahkan konsumen untuk tidak lagi membeli berbagai jenis produk yang diinginkan dari toko yang berbeda-beda. Terutama di hypermarket, konsumen dapat membeli perkakas rumah sekaligus popok bayi. Fitur inilah yang kemudian dapat dieksploitasi oleh ritel modern, dan dalam hal ini pemasoklah yang sering menjadi korban.
Ritel modern menawarkan produk yang murah kepada konsumen dengan mengeksploitasi rabat yang dimintakan ke pemasok. Dalam kasus Carrefour, rabat yang dipersyaratkan untuk produk tertentu awalnya sebesar 20% dari harga jualnya ke Carrefour. Besaran rabat ini kemudian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bahkan ada di antara pemasok yang diminta rabat oleh Carrefour sampai dengan 70% dari harga pasokannya. Selain itu pemasok juga mendapatkan perlakuan abusive dari Carrefour berupa pengenaan biaya promosi yang sangat tinggi.
Seluruh ketentuan kerjasama tersebut dituangkan Carrefour dalam dokumen trading terms. Meskipun Carrefour memiliki dokumen trading terms nasional, namun implementasinya dapat berlainan bagi tiap pemasok. Dapat dibayangkan Carrefour dengan kekuatan modal yang sangat besar berhadapan dengan pemasok-pemasok yang belum tentu sama skala bisnisnya, terutama setelah akuisisinya dengan PT. Alfa Retailindo, yang terjadi adalah potensi abuse of dominant bargaining position.
Terkait dengan pelanggaran inilah, pada tanggal 3 November 2009, KPPU memutuskan Carrefour bersalah dan harus melepas Alfa. Carrefour terbukti secara sah memonopoli dan mendominasi pasar hulu (upstream) ritel di Indonesia setelah mengakuisisi 75% saham PT Alfa Retailindo Tbk pada Januari 2008, dan terbukti melanggar Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) a UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Atas putusan itu, Carrefour mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang kemudian dikabulkan pada tanggal 17 Februari lalu.
Tanpa mengurangi penghargaan atas pelaksanaan kewenangan PN Jakarta Selatan terkait putusan Carrefour, KPPU tetap pada pandangan bahwa Putusan Perkara No. 09/KPPU-L/2009 yang telah dijatuhkan pada 3 November 2009 (putusan KPPU) adalah putusan tepat karena berdasarkan bukti yang ada menunjukkan bahwa Carrefour setelah mengakusisi Alfa, telah memenuhi kualifikasi monopoli dan pososi dominan sebesar 57,99% di pasar pasokan barang/jasa di hypermarket dan supermarket serta terbukti menyalahgunakan monopoli itu.
Jadi pasar bersangkutannya adalah pasar pasokan atau hulu yang menunjukkan relasi pemasok-pasar hipermarket/ supermarket dan berbeda dengan pasar hilir berupa hipermarket/supermarket yang menunjukkan relasi pasar hipermarket/supermarket-konsumen. Penelitian AC Nielsen yang selama ini dipakai untuk mengukur monopoli Carrefour sehingga memasukkan minimarket sebagai substitusi supermarket/hypermarket atas dasar pergerakan konsumen sehingga pangsa pasar Carrefour terhitung kecil, adalah unsur pembuktian untuk pasar hilir yang berbeda dan bukan isu hukum putusan KPPU yang menguji relasi pasar hulu.
Kalaupun bukti pasar hilir ini dipertimbangkan, meskipun sebenarnya tidak berkaitan dengan pasar hulu, hal inipun tidak terbukti karena data menunjukkan bahwa perpindahan pembelian (cross shopping) konsumen ke minimarket dan supermarket/hipermarket sama tinggi sehingga minimarket dan supermarket/hipermarket tidak bersaing satu sama lain namun saling melengkapi. Dimana minimarket memenuhi kebutuhan insidentil, sementara supermarket memenuhi kebutuhan rutin konsumen.
Hal ini mempertegas fakta bahwa minimarket bukan pesaing supermarket/hipermarket melainkan bersifat komplementer, sehingga seharusnya minimarket dikeluarkan dari ruang lingkup definisi pasar bersangkutan. Dengan konstruksi ini, Carrefour tetap berpangsa pasar 57.99% dan memenuhi kualifikasi monopoli dan posisi dominan. Di samping itu, isu utama dalam perkara ini adalah penerapan trading terms yang semakin memberatkan pemasok pasca akuisisi, yang jelas tidak berkaitan dengan persepsi konsumen pada pasar hilir.
KPPU optimis bahwa Mahkamah Agung akan menguatkan putusan KPPU, karena MA telah menguatkan Putusan KPPU No.02/KPPU-L/2005 yang juga berkenaan dengan trading terms Carrefour. Apalagi putusan KPPU ini telah memenuhi due process of law dan secara substansi diputus berdasarkan pertimbangan dan diktum yang sesuai fakta.
Dengan putusan ini, ikhtiar Komisi untuk melindungi terciptanya persaingan sehat di sektor retail sekaligus memberi kesempatan berusaha secara proporsional pada pemasok yang sebagian besar pengusaha kecil, akan terjaga.
Dimuat di Majalah Kompetisi
co-writer: Enno Wiranti
Kreativitas pelaku usaha ritel dalam menangkap peluang pasar mengakibatkan munculnya berbagai jenis format ritel baru seperti minimarket, convenience store, maupun supermarket. Ceruk-ceruk pasar mulai bermunculan seiring dengan semakin berkembang pesatnya ekonomi Indonesia pada awal dekade 1990.
Pada tahun 1998, peritel asing mulai merangsek masuk ke bisnis ritel di Indonesia. Sebut saja Carrefour yang menawarkan konsep format one stop shopping berupa hypermarket. Disebut one stop shopping karena hampir semua jenis produk ada dan dijual di sana mulai dari produk-produk ritel modern pada umumnya seperti kebutuhan sehari-hari, makanan ringan, peralatan rumah tangga (appliances), bahkan kendaraan bermotor pun tersedia di sana.
Fenomena Pasar Dua Sisi (Two-Sided Platforms) dalam Ritel Modern. Pada dasarnya, ritel modern menghubungkan kebutuhan konsumen akhir dan produsen yang memproduksi barang kebutuhan tersebut, fenomena inilah yang disebut dengan fenomena pasar dua sisi.
Pada sisi pasar yang pertama, peritel mencari produsen yang berminat untuk men-display hasil produksinya di gerai ritel modern tersebut. Dalam hal ini, peritel dapat mengenakan biaya (fee) atas display produk dari produsen. Biaya tersebut diatur dalam syarat perdagangan (trading terms) yang disepakati bersama oleh peritel dan pemasok. Dengan kata lain, pada sisi pasar ini peritel menjual jasa penjualan ritelnya kepada produsen.
Pada sisi pasar yang kedua, ritel modern menyediakan berbagai macam item produk yang dijual kepada konsumen. Dalam hal ini, konsumen tidak lagi harus pergi ke beberapa toko untuk sekedar mencari sabun mandi sekaligus elektronik, semua ada dalam satu tempat yang nyaman dengan harga yang bersaing. Konsep one-stop shopping inilah yang menyebabkan jumlah konsumen ritel semakin meningkat, sehingga sisi pasar konsumen mampu berkembang dengan pesat.
Seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menyebabkan daya beli konsumen menjadi naik, peritel tidak lagi harus susah payah mencari produsen yang berkenan memasok barang kepadanya. Pemasoklah yang saat ini berusaha untuk dapat menembus pasar ritel agar dapat dikenal oleh konsumen. Hal inilah yang memberikan ritel modern kekuatan pasar yang semakin lama semakin signifikan.
Akuisisi Carrefour terhadap PT. Alfa Retailindo Dari sejumlah peritel asing yang memasuki pasaran Indonesia, Carrefour merupakan peritel yang keberadaannya paling menonjol. Keperkasaan Carrefour dapat dilihat dari laporan majalah Retail Asia, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2006 saja, Carrefour dengan 24 gerai yang dimilikinya mampu menduduki peringkat kedua perolehan omzet di Indonesia, yakni Rp. 7,23 triliun.
Pada pertengahan tahun 2007, keinginan Carrefour untuk mengakuisisi PT. Alfa Retailindo mulai terdengar. Hal tersebut kemudian terbukti dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Carrefour, PT. Sigmantara Alfindo dan Prime Horizon Pte.Ltd untuk membeli saham PT Alfa Retailindo, Tbk. sebesar 75%, yang kemudian disusul dengan penandatanganan perjanjian jual beli saham pada tanggal 21 Januari 2008.
Setelah melakukan akuisisi, dari 30 gerai ex-Alfa, sebanyak 14 gerai berganti nama menjadi Carrefour Express, sementara 16 gerai menjadi Carrefour dan menutup satu gerai. Dengan demikian, pasca akuisisi Alfa Retailindo, Carrefour beroperasi di dua format yaitu format hypermarket dan supermarket.
Perkara Carrefour di KPPU
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Carrefour dan ritel modern lainnya menjalankan kegiatan bisnisnya dengan memasok barang dari pemasok dan menjualnya kepada konsumen. Karena itu Carrefour tidak akan hidup tanpa keberadaan konsumen dan pemasok secara bersamaan.
Keberadaan format ritel modern saat ini memang memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen. Konsep one stop shopping memudahkan konsumen untuk tidak lagi membeli berbagai jenis produk yang diinginkan dari toko yang berbeda-beda. Terutama di hypermarket, konsumen dapat membeli perkakas rumah sekaligus popok bayi. Fitur inilah yang kemudian dapat dieksploitasi oleh ritel modern, dan dalam hal ini pemasoklah yang sering menjadi korban.
Ritel modern menawarkan produk yang murah kepada konsumen dengan mengeksploitasi rabat yang dimintakan ke pemasok. Dalam kasus Carrefour, rabat yang dipersyaratkan untuk produk tertentu awalnya sebesar 20% dari harga jualnya ke Carrefour. Besaran rabat ini kemudian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bahkan ada di antara pemasok yang diminta rabat oleh Carrefour sampai dengan 70% dari harga pasokannya. Selain itu pemasok juga mendapatkan perlakuan abusive dari Carrefour berupa pengenaan biaya promosi yang sangat tinggi.
Seluruh ketentuan kerjasama tersebut dituangkan Carrefour dalam dokumen trading terms. Meskipun Carrefour memiliki dokumen trading terms nasional, namun implementasinya dapat berlainan bagi tiap pemasok. Dapat dibayangkan Carrefour dengan kekuatan modal yang sangat besar berhadapan dengan pemasok-pemasok yang belum tentu sama skala bisnisnya, terutama setelah akuisisinya dengan PT. Alfa Retailindo, yang terjadi adalah potensi abuse of dominant bargaining position.
Terkait dengan pelanggaran inilah, pada tanggal 3 November 2009, KPPU memutuskan Carrefour bersalah dan harus melepas Alfa. Carrefour terbukti secara sah memonopoli dan mendominasi pasar hulu (upstream) ritel di Indonesia setelah mengakuisisi 75% saham PT Alfa Retailindo Tbk pada Januari 2008, dan terbukti melanggar Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) a UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Atas putusan itu, Carrefour mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang kemudian dikabulkan pada tanggal 17 Februari lalu.
Tanpa mengurangi penghargaan atas pelaksanaan kewenangan PN Jakarta Selatan terkait putusan Carrefour, KPPU tetap pada pandangan bahwa Putusan Perkara No. 09/KPPU-L/2009 yang telah dijatuhkan pada 3 November 2009 (putusan KPPU) adalah putusan tepat karena berdasarkan bukti yang ada menunjukkan bahwa Carrefour setelah mengakusisi Alfa, telah memenuhi kualifikasi monopoli dan pososi dominan sebesar 57,99% di pasar pasokan barang/jasa di hypermarket dan supermarket serta terbukti menyalahgunakan monopoli itu.
Jadi pasar bersangkutannya adalah pasar pasokan atau hulu yang menunjukkan relasi pemasok-pasar hipermarket/ supermarket dan berbeda dengan pasar hilir berupa hipermarket/supermarket yang menunjukkan relasi pasar hipermarket/supermarket-konsumen. Penelitian AC Nielsen yang selama ini dipakai untuk mengukur monopoli Carrefour sehingga memasukkan minimarket sebagai substitusi supermarket/hypermarket atas dasar pergerakan konsumen sehingga pangsa pasar Carrefour terhitung kecil, adalah unsur pembuktian untuk pasar hilir yang berbeda dan bukan isu hukum putusan KPPU yang menguji relasi pasar hulu.
Kalaupun bukti pasar hilir ini dipertimbangkan, meskipun sebenarnya tidak berkaitan dengan pasar hulu, hal inipun tidak terbukti karena data menunjukkan bahwa perpindahan pembelian (cross shopping) konsumen ke minimarket dan supermarket/hipermarket sama tinggi sehingga minimarket dan supermarket/hipermarket tidak bersaing satu sama lain namun saling melengkapi. Dimana minimarket memenuhi kebutuhan insidentil, sementara supermarket memenuhi kebutuhan rutin konsumen.
Hal ini mempertegas fakta bahwa minimarket bukan pesaing supermarket/hipermarket melainkan bersifat komplementer, sehingga seharusnya minimarket dikeluarkan dari ruang lingkup definisi pasar bersangkutan. Dengan konstruksi ini, Carrefour tetap berpangsa pasar 57.99% dan memenuhi kualifikasi monopoli dan posisi dominan. Di samping itu, isu utama dalam perkara ini adalah penerapan trading terms yang semakin memberatkan pemasok pasca akuisisi, yang jelas tidak berkaitan dengan persepsi konsumen pada pasar hilir.
KPPU optimis bahwa Mahkamah Agung akan menguatkan putusan KPPU, karena MA telah menguatkan Putusan KPPU No.02/KPPU-L/2005 yang juga berkenaan dengan trading terms Carrefour. Apalagi putusan KPPU ini telah memenuhi due process of law dan secara substansi diputus berdasarkan pertimbangan dan diktum yang sesuai fakta.
Dengan putusan ini, ikhtiar Komisi untuk melindungi terciptanya persaingan sehat di sektor retail sekaligus memberi kesempatan berusaha secara proporsional pada pemasok yang sebagian besar pengusaha kecil, akan terjaga.
Dimuat di Majalah Kompetisi
co-writer: Enno Wiranti
Comments