Skip to main content

Proteksi Ekonomi Nasional dalam Hukum dan Kebijakan Persaingan Usaha di Indonesia

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang ini lahir salah satunya berkat peran dari institusi yang selama ini dikenal dengan cap neoliberalis yaitu IMF. Pada waktu itu pemerintah Indonesia menyetujui perjanjian pemberian kucuran dana dari IMF sebesar US$43 miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi pada tahun 1998. Kucuran dana segar yang diberikan disertai dengan syarat yaitu pemerintah Indonesia harus melakukan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu yang salah satunya adalah dibuatnya undang-undang antimonopoli.

Sejak pertama kali diundangkan pada tahun 1999, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat banyak mendapat tanggapan apatis dari berbagai pihak. Banyak yang beranggapan bahwa keberadaan UU tersebut merupakan produk dari kebutuhan pemerintah Indonesia atas kucuran dana dari International Monetary Fund (IMF). Anggapan tersebut kemudian melebar menjadi ketakutan atas dampak dari persaingan pasar yang bebas terhadap kepentingan ekonomi Indonesia.

Pada tahap berikutnya, timbul ketakutan banyak pihak bahwa UU Persaingan Usaha yang merupakan produk legislatif inisiatif pertama dari DPR setelah bergulirnya reformasi ini ditunggangi oleh kepentingan IMF, Amerika Serikat dan kroni-kroni untuk memperkuat hegemoninya di negara-negara berkembang melalui faham neoliberalismenya.
Bagi banyak pihak, neoliberalisme dianggap sebagai paham yang menolak keberadaan intervensi pemerintah dalam institusi yang disebut dengan pasar. Bagi para penganut paham tersebut, pasar merupakan institusi sakral yang tidak seorangpun boleh mengganggu hukumnya. Faham tersebut tumbuh dan berkembang dalam wacana yang timbul di antara para ekonom di Washington DC selama era tahun 1990an melalui pranata-pranata ekonomi IMF, World Bank, dan US Treasury Department untuk mengatasi krisis ekonomi yang sedang terjadi di negara-negara berkembang pada waktu itu. Belakangan wacana tersebut dikenal dengan istilah Washington Consensus pada tahun 1989 yang dipopulerkan oleh John Williamson yang merupakan ekonom dari Amerika Serikat.

Wacana tersebut sangat populer pada era 1990an bahkan setelah reformasi bergulir tahun 1998. Banyak negara yang telah mengusung faham tersebut dalam politik ekonominya sebagai mesin jet pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun tidak dipungkiri berbagai dampak buruk dari aliran tersebut terlihat ketika terjadi ketimpangan dan ketidakmerataan kue pembangunan yang hanya dinikmati oleh segelintir agen ekonomi semata.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang ini lahir salah satunya berkat peran dari institusi yang selama ini dikenal dengan cap neoliberalis yaitu IMF. Pada waktu itu pemerintah Indonesia menyetujui perjanjian pemberian kucuran dana dari IMF sebesar US$43 miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi pada tahun 1998. Kucuran dana segar yang diberikan disertai dengan syarat yaitu pemerintah Indonesia harus melakukan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu yang salah satunya adalah dibuatnya undang-undang antimonopoli.

Pertanyaan yang muncul kemudian setelah melihat kenyataan ini benarkan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini merupakan produk neoliberalisme? Benarkah ini merupakan usaha pemerintah Indonesia untuk lebih meminimalisir keterlibatannya dalam mekanisme pasar bebas? Mungkin perlu kiranya kita lihat bersama apa pertimbangan yang dipakai dalam UU ini.

Perlunya melandaskan setiap produk peraturan perundangan tertentu pada peraturan perundangan yang lebih tinggi telah dianut dalam UU ini. Produk undang-undang menurut hirarki peraturan perundangan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tidak boleh menyalahi peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945.

Semangat Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 UUD 1945 merupakan mencerminkan semangat yang harus diemban oleh UU Persaingan. Oleh karena itu perwujudan demokrasi ekonomi dan kesejahteraan rakyat mutlak merupakan amanat dari konstitusi yang perlu diwujudkan melalui UU Persaingan ini.

Demokrasi ekonomi menghendaki adanya jaminan atas kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi melalui iklim persaingan usaha yang sehat sehingga tercipta efisiensi dan inovasi yang menyebabkan ekonomi pasar berjalan dalam kewajaran. Iklim persaingan usaha yang sehat juga dapat mencegah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau beberapa pihak saja dalam sektor ekonomi tertentu.

Dalam Asasnya pun Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mendasarkan pada asas demokrasi ekonomi dan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Maka kemudian Tujuan yang ingin dicapai dari keberadaan UU ini adalah peningkatan kesejahteraan rakyat melalui perlindungan kepentingan umum serta penciptaan efisiensi ekonomi nasional melalui penciptaan kesetaraan kesempatan berusaha baik bagi pelaku usaha besar, menengah, maupun kecil.
Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ekonomi menjelaskan dalam bukunya Wealth of Nations (1776) menyebutkan bahwa kompetisi digambarkan sebagai alokasi sumber daya produktif dalam kegunaan yang bernilai tinggi serta dapat mendorong efisiensi. Gambaran tersebut juga sesuai dengan ungkapan George Stigler dalam Journal of Political Economy (1957) bahwa kompetisi merupakan kegiatan yang positif dan independen dalam upaya mencapai keseimbangan (equilibrium).

Kondisi yang ideal tersebut dideskripsikan kemudian oleh Vilfredo Pareto sebagai Pareto Optimum (Pareto Efficiency). Pareto Optimum yaitu sebuah kondisi dimana terjadi alokasi yang sangat efisien yang menyebabkan tidak ada lagi kemungkinan individu memperoleh better off tanpa menyebabkan individu lain menderita worse off. Namun demikian dalam dunia nyata untuk kondisi tersebut tidak akan tercapai tanpa pengorbanan.

Sebagai contoh, kebijakan pemerintah untuk menerapkan aturan antimonopoli akan menyebabkan pasar menjadi lebih kompetitif. Pelaku usaha monopolis tentu akan menjadi worse-off. Akan tetapi kondisi worse-off tersebut akan terkompensasi dengan terciptanya efisiensi ekonomi. Pada akhirnya kebijakan tersebut akan menyebabkan monopolis akan berusaha menjadi efisien dan pada akhirnya mengarah pada kondisi alokasi sumber daya secara efisien.

Pada prakteknya alokasi sumberdaya tersebut tidak dapat serta merta efisien dengan sendirinya. Ada pelaku ekonomi tertentu yang dimungkinkan mendapatkan manfaat efisiensi yang lebih besar dari yang seharusnya. Sebagai contoh, keberadaan pelaku ekonomi yang memiliki kekuatan pasar dapat memblokir mekanisme saling menguntungkan yang terjadi dari alokasi sumber daya yang efisien sehingga tidak lagi tercipta kondisi Pareto Optimal. Kondisi tersebut sering disebut sebagai kegagalan pasar (market failure) yang selalu dijadikan alasan bagi pemerintah untuk campur tangan melalui kebijakan ekonominya.

Beberapa teori ekonomi tersebut merupakan bentuk dari konsep welfare economics yang menitikberatkan penciptaan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme alokasi sumber daya ekonomi yang efisien, sesuai dengan yang dicita-citakan oleh UU No. 5 Tahun 1999.
Hukum persaingan memang pada dasarnya mengharuskan pelaku usaha untuk dapat bersaing secara sehat. Namun perlu diingat juga bahwa penciptaan demokrasi ekonomi melalui persaingan yang sehat memiliki tujuan untuk menjaga keseimbangan kepentingan pelaku usaha, baik itu besar maupun kecil. Oleh karena itu perlu ada mekanisme perlindungan bagi pelaku usaha kecil ketika harus berhadapan dengan pelaku usaha dengan modal yang besar agar tetap tercipta posisi tawar yang seimbang. Hukum persaingan juga tetap harus menjunjung tinggi kepentingan umum dan kepentingan nasional.

Dalam kaitannya dengan perlindungan seluruh pelaku usaha serta kepentingan umum dan nasional tersebut, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melengkapi dirinya dengan pasal-pasal pengecualian (exemptions). Ada sembilan butir pengecualian terhadap hukum persaingan di Indonesia serta ada satu pasal terkait pengaturan mengenai pelaku usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan cabang produksi yang penting bagi negara.
Aturan tersebut menegaskan satu hal, bahwa UU No. 5 Tahun 1999 tidak membawa rezim neoliberal seperti yang ditakutkan oleh banyak pihak. Aturan-aturan tersebut justru memberikan jalan bagi pemerintah untuk semakin meningkatkan efisiensi terhadap alokasi sumber daya ekonomi demi terciptanya Pareto Optimum.

Ketentuan mengenai penguasaan hajat hidup orang banyak dan cabang produksi yang penting bagi negara oleh BUMN diatur dalam Pasal 51. Banyak diantara sektor usaha di Indonesia tidak memungkinkan untuk dibukanya keran kompetisi karena besarnya modal yang ditanamkan. Contohnya adalah seperti jasa penyediaan air bersih dan ketenagalistrikan. Pada jenis industri ini regulasi pemerintah mutlak diperlukan karena pelaku usaha yang ada adalah monopolis. Namun demikian bukan berarti BUMN dikecualikan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Perlu ada regulasi dari pemerintah terlebih dahulu atas kondisi ini.

Ketentuan mengenai BUMN tersebut juga terkait dengan apa yang diamanatkan pada Pasal 50 butir a yaitu pengecualian UU Persaingan jika telah diamanatkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Tentu saja peraturan yang berlaku adalah sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 50 butir a menyebutkan bahwa UU Persaingan dapat dikecualikan antara lain karena perbuatan dan atau perjanjian bertujuan untuk melaksanakan Undang-Undang. Sebagai contoh UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Jelaslah bahwa UU Persaingan tidak akan mengatur komoditas tersebut karena peredarannya saja sudah sangat terestriksi.

Selain itu terdapat pula pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999 atas segala yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual seperti lisensi, paten, merk dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, rahasia dagang, serta perjanjian terkait waralaba. Pengecualian tersebut juga atas amanat dari peraturan perundangundangan yang terkait.

UU Persaingan juga mengecualikan perjanjian tentang dengan keagenan, kerjasama penelitian demi perbaikan standar hidup masyarakat luas, perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, serta perjanjian/perbuatan yang bertujuan untuk kepentingan ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri.
Terkait dengan upaya perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dan Koperasi, UU Persaingan mengecualikan dari ketentuannya, pelaku usaha yang termasuk dalam Usaha Kecil serta Koperasi yang secara khusus bertujuan melayani anggotanya. Pengecualian ini sesuai dengan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 serta UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000 s/d 2004 yang menitikberatkan pembangunan ekonomi berdasarkan ekonomi kerakyatan dimana sektor UMKM menjadi sokogurunya. Dalam ketentuan tentang Propenas tersebut juga disebutkan secara spesifik bahwa UMKM perlu mendapatkan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga meskipun tidak secara spesifik menyebutkan pengecualian UMKM dari persaingan usaha, namun menyuratkan perlunya proteksi dan pembinaan atas UMKM dan Koperasi.

Definisi dari UMKM dan Koperasi dapat merujuk kepada Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Dengan beberapa aturan pengecualian yang terdapat pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini diharapkan masyarakat akan semakin sadar bahwa UU ini bukanlah merupakan alat bagi rezim neoliberalisme. Justru sebaliknya, UU Persaingan ini merupakan perpanjangan tangan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 33 tentang Demokrasi Ekonomi. Diharapkan juga dengan adanya UU Persaingan ini pelaku usaha kecil menjadi semakin memiliki daya saing dan tidak lagi takut untuk bersaing.

Comments

Popular posts from this blog

Mutlak! Diversifikasi Pembangkit

Baru saja saya baca artikel di Media Indonesia mengenai pemberian stimulus fiskal bagi pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Beberapa quote dari Bapak Fabby Tumiwa juga pernah saya dengar langsung dari beliaunya. Pembangunan pembangkit non-BBM akan membantu PLN mengantisipasi lonjakan harga minyak dunia yang tidak terduga. Karena ada estimasi pada 2012, harga minyak akan melonjak ke angka USD120 per barel Pernyataan Fabby tersebut cukup logis. Mengapa? Saya bersama teman-teman pernah membuat sebuah kajian mengenai ketenagalistrikan di Indonesia. Fakta yang saya temui cukup mencengangkan. Dengan kondisi harga minyak pada tahun 2008 sempat mencapai USD147 per barel, tarif listrik di Indonesia masih menggunakan TDL 2003. Karuan saja PLN rugi terus karena komposisi input bahan bakar bagi pembangkit di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil (>75% sumber energi pembangkit listrik menggunakan minyak dan batubara). Padahal semakin mahal harga minyak dunia maka komposisi biaya ...

Lessons Learned from APEC Training Program

Few days ago, APEC in coorporation with Japan Fair Trade Commission (JFTC) and Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) helds APEC Training on Competition Policy. This event took place in Sanur Paradise Hotel & Resort, Bali and attended by representatives of several competition policy agency from Rusia, Japan, Mexico, Chile, Peru, Taiwan, Singapore, China, Vietnam, Thailand, Malaysia, and Chinese Taipei. Here are discussion pointer: there are two kind of definition regarding industrial policy which are narrow and broad definition. the narrow definition of industrial policy is policy to promote the economic interests of a particular domestic industry or firm, SOE or private, by providing protection from competition, preferential access to factors of production or to a market for its product or services. otherwise, the broad definition is all the previous policies but to include wider social or infrastructure investment to promote economic development and the welfare of a firm or indu...

LIAISON OFFICER, SALAH SATU WAJAH BI DI MATA INTERNASIONAL

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam. Ridwan (KPw Kaltim) masih mondar mandir di executive lounge Bandara Ngurah Rai dengan berpakaian batik lengan panjang terbaik yang dia miliki. Motifnya madura. Ridwan sengaja menyiapkannya khusus untuk kesempatan langka ini, menyambut kedatangan Gubernur Reserve Bank of India, Raghuram Rajan, di Bali untuk menghadiri pertemuan Gubernur Bank Sentral Asia Pasifik ( EMEAP Governors Meeting) pada Juli 2016 lalu. Ridwan bertugas sebagai LO yang akan ‘menempel’ Raghuram Rajan selama rangkaian acara ini. Raghu ditemani oleh Ridwan Bagi Ridwan ini adalah momen spesial. Sebelumnya Ridwan tidak mengetahui siapa Raghuram Rajan, sampai dia melihat fim Inside Job (2010). Sebuah film dokumenter tentang krisis finansial global tahun 2008 ini telah memperkenalkannya pada Raghu.   Raghu, begitulah dia disapa di forum-forum internasional, adalah sosok yang sangat disegani. Nama Raghu tersohor baik sebagai mantan ekonom utama di IMF, Profesor di Universi...