Belakangan ini banyak sekali pemberitaan di media massa yang menyatakan bahwa beberapa putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bukannya menyelesaikan permasalahan persaingan usaha namun dapat menghambat iklim investasi. Beberapa kasus yang diputus oleh KPPU menuai kontroversi oleh berbagai pihak, antara lain putusan bersalah terhadap Medco dalam perkara Donggi-Senoro maupun beberapa kasus kartel minyak goreng mauapun fuel surcharge. Kesemuanya berujung pada pertanyaan yang sama. Benarkah rezim persaingan usaha di Indonesia masih pro investasi?
Terlepas dari berita-berita tersebut, tulisan ini akan lebih mengedepankan tentang bagaimana peran hukum dan kebijakan persaingan usaha dalam mendorong iklim investasi di Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu lembaga pemeringkat internasional Moody’s telah menaikkan rating surat utang Indonesia pada posisi Ba1 dimana kenaikan tersebut telah mendekati level investment grade atau peringkat layak investasi. Penilaian lembaga pemeringkat seperti Moody’s memberikan harapan bagi para para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Menurut laporan dari Moody’s kenaikan rating investasi ini didorong oleh ketahanan ekonomi Indonesia yang didukung oleh penguatan stabilitas makroekonomi, posisi utang pemerintah yang membaik dan cadangan devisa yang meningkat, serta prospek investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) yang juga meningkat.
Namun demikian, selain dari laporan Moody’s, laporan Ease of Doing Business tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, secara keseluruhan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-121 dimana posisi ini turun dari peringkat ke 115 pada tahun 2010. Rangking ini berada jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya yaitu Singapura (yang menempati posisi pertama), Thailand (peringkat 19), Malaysia (21), Vietnam (78), dan Brunei Darussalam (112).
Penurunan peringkat Indonesia ini didorong oleh beberapa indikator antara lain semakin sulitnya prosedur pendaftaran properti, mendapatkan kredit, pembayaran pajak, penerapan kontrak, dan penutupan usaha. Sedangkan untuk indikator memulai bisnis dan perdagangan luar negeri terjadi peningkatan. Terkait dengan pengurusan izin konstruksi tidak ada perubahan peringkat dari tahun sebelumnya.
Dalam laporan lain, Global Competitiveness Report (GCR) 2010-2011, Indonesia menempati posisi 44 naik sepuluh tingkat dari posisi tahun 2009-2010 yang menempati peringkat 54. Laporan GCR ini merupakan gambaran atas daya saing kinerja ekonomi suatu negara dalam konstelasi ekonomi dunia. Beberapa faktor yang menjadi sorotan laporan GCR tersebut antara lain keberadaan institusi ekonomi, efisiensi pasar, dan persaingan usaha.
GCR sendiri dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) yang merupakan lembaga non-profit yang berbasis di Jenewa. Setiap tahun WEF menyelenggarakan pertemuan di Davos yang dihadiri oleh para eksekutif penting di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Secara khusus bahkan GCR menyebutkan bahwa salah satu daya saing yang menjadi competitive advantage Indonesia adalah efektivitas kebijakan antimonopoli, dan kemampuannya untuk mengatasi market dominance.
Dari beberapa laporan tersebut muncul sebuah pertanyaan, apakah ada kaitan persaingan usaha yang sehat dengan penciptaan iklim investasi? Sejauh mana peran persaingan sehat berdampak pada iklim investasi yang sehat?
Michael E. Porter, seorang pakar manajemen strategi dari Harvard Business School telah lama mengemukakan konsep yang kini sangat dikenal luas dalam dunia bisnis dan manajemen yaitu Porter’s Five Forces. Konsep ini merupakan kerangka berpikir sebagai landasan bisnis dan strategi yang sangat menentukan intensitas persaingan dan daya tarik dari sebuah pasar.
Menurut Porter, ada lima faktor yang mempengaruhi perusahaan untuk menjadi kompetitif:
Pertama, sebuah perusahaan yang berkecimpung dalam suatu industri yang menghasilkan profit akan menghadapi ancaman pesaing baru yang akan masuk karena tertarik untuk menangguk untung dari industri tersebut. Ketika pesaing baru telah masuk, akan mengancam keberadaan pelaku usaha yang sudah berada di pasar tersebut sebelumnya. Sebagai contoh, ketiika dibuka persaingan bebas pada sektor angkutan udara, pelaku usaha incumbent seperti Garuda Indonesia menghadapi banyak maskapai baru yang juga menawarkan jasa penerbangan yang sama, seperti Lion Air, Air Asia dan lain sebagainya.
Ke dua, intensitas persaingan lokal. Perusahaan akan berusaha untuk bertindak semakin efisien untuk memenangkan hati konsumen. Dalam industri ketika seluruh perusahaan berperilaku seperti itu maka industri akan semakin efisien.
Ke tiga, ancaman dari produk pesaing. Persaingan dari sisi harga dan kualitas akan menyebabkan perusahaan akan selalu berusaha untuk memproduksi barang dan/atau jasa dalam kualitas terbaik dengan harga yang paling murah.
Ke empat, keberadaan daya tawar konsumen. Dalam tahap tertentu konsumen dapat memiliki posisi tawar terhadap produsen untuk mempengaruhi harga jual ketika konsumen dapat berpindah ke produk pesaing jika produsen tidak mau menurunkan harga.
Ke lima, keberadaan daya tawar supplier dapat menjadi tekanan terhadap produsen untuk memberikan produk yang bersaing. Supplier dalam taraf tertentu dapat menekan produsen untuk membeli inputnya dengan harga yang tinggi ketika terdapat sedikit substitusi.
Meskipun banyak teori yang kemudian membantah maupun menambah teori Porter tersebut namun tetap lima kekuatan inilah yang mempengaruhi sebuah perusahaan untuk dapat memiliki daya saing dalam suatu industri. Dengan kata lain, sebuah perusahaan tidak akan memiliki daya saing tanpa keberadaan entitas maupun perusahaan lain dalam industri tersebut. Untuk itulah persaingan membuka pintu yang sangat lebar terhadap investasi. Masuknya perusahaan-perusahaan baru diharapkan dapat memberikan tekanan persaingan kepada perusahaan yang sudah ada di pasar untuk dapat memberikan produk yang bersaing baik dari sisi harga maupun kualitas.
Teori Five Forces dari Porter tersebut kemudian dikembangkan menjadi teori National Diamond yang mengatakan bahwa daya saing suatu industri dalam suatu perekonomian ditentukan oleh empat pilar utama yaitu kondisi faktor produksi, keberadaan industri penopang yang terkait, kondisi permintaan pasar, dan yang terakhir adalah struktur, strategi, dan persaingan usaha. Peran pemerintah dalam hal ini adalah sebagai katalisator agar perusahaan selalu berusaha untuk bekerja dalam tingkat kinerja yang kompetitif, salah satunya adalah penegakan hukum persaingan untuk menjamin tidak adanya perusahaan yang melakukan kecurangan.
Tingginya tingkat persaingan (rivalry) merupakan salah satu faktor utama daya saing suatu negara karena dapat menyalurkan alokasi ekonomi secara efisien, memicu terciptanya inovasi, murahnya harga dan peningkatan kualitas. Meskipun demikian perusahaan cenderung untuk bersikap menghindar dari persaingan. Oleh karena itu perlu kelembagaan yang menjamin persaingan tetap ada.
Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melakukan penyusunan Policy Framework for Investment (PFI) untuk Indonesia. Salah satu poin penting dalam penguatan PFI adalah keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia.
Terkait dengan kebijakan persaingan, tujuan dari PFI ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan mempromosikan persaingan usaha yang sehat dan mengendalikan perilaku yang menghambat persaingan. Keberadaan pasar yang kompetitif dapat mengarah kepada turunnya harga konsumen, meningkatnya partisipasi pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar melalui investasi, meningkatnya kualitas dan variasi produk.
Dalam perkembangannya OECD juga mengembangkan sebuah toolkit untuk mengevaluasi sejauh mana PFI tersebut diterapkan di perekonomian. Khusus mengenai kebijakan persaingan, terdapat tujuh pertanyaan dalam toolkit yang dapat menggambarkan penerapan PFI tersebut. Ketujuh pertanyaan tersebut antara lain tentang transparansi dan non-diskriminasi, implementasi hukum dan kebijakan persaingan, praktik antipersaingan, evaluasi kebijakan pemerintah dan harmonisasi kebijakan, kebijakan industri, privatisasi, serta kerjasama internasional.
Output dari kegiatan PFI ini kemudian dituangkan dalam laporan Investment Policy Report: Indonesia 2010 yang dapat dilihat di situs OECD. Sejauh ini KPPU sebagai lembaga otoritas penegak hukum persaingan di Indonesia memainkan peran penting dalam terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat yang sangat penting bagi peningkatan investasi.
Pada akhirnya kita kembali mencoba menjawab, seberapa penting keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia dapat membantu terciptanya peningkatan investasi? Jawabannya tentu sangat jelas bahwa keberadaan hukum persaingan usaha tidak dapat dipisahkan dari peningkatan investasi di Indonesia.
Terlepas dari berita-berita tersebut, tulisan ini akan lebih mengedepankan tentang bagaimana peran hukum dan kebijakan persaingan usaha dalam mendorong iklim investasi di Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu lembaga pemeringkat internasional Moody’s telah menaikkan rating surat utang Indonesia pada posisi Ba1 dimana kenaikan tersebut telah mendekati level investment grade atau peringkat layak investasi. Penilaian lembaga pemeringkat seperti Moody’s memberikan harapan bagi para para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Menurut laporan dari Moody’s kenaikan rating investasi ini didorong oleh ketahanan ekonomi Indonesia yang didukung oleh penguatan stabilitas makroekonomi, posisi utang pemerintah yang membaik dan cadangan devisa yang meningkat, serta prospek investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) yang juga meningkat.
Namun demikian, selain dari laporan Moody’s, laporan Ease of Doing Business tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, secara keseluruhan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-121 dimana posisi ini turun dari peringkat ke 115 pada tahun 2010. Rangking ini berada jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya yaitu Singapura (yang menempati posisi pertama), Thailand (peringkat 19), Malaysia (21), Vietnam (78), dan Brunei Darussalam (112).
Penurunan peringkat Indonesia ini didorong oleh beberapa indikator antara lain semakin sulitnya prosedur pendaftaran properti, mendapatkan kredit, pembayaran pajak, penerapan kontrak, dan penutupan usaha. Sedangkan untuk indikator memulai bisnis dan perdagangan luar negeri terjadi peningkatan. Terkait dengan pengurusan izin konstruksi tidak ada perubahan peringkat dari tahun sebelumnya.
Dalam laporan lain, Global Competitiveness Report (GCR) 2010-2011, Indonesia menempati posisi 44 naik sepuluh tingkat dari posisi tahun 2009-2010 yang menempati peringkat 54. Laporan GCR ini merupakan gambaran atas daya saing kinerja ekonomi suatu negara dalam konstelasi ekonomi dunia. Beberapa faktor yang menjadi sorotan laporan GCR tersebut antara lain keberadaan institusi ekonomi, efisiensi pasar, dan persaingan usaha.
GCR sendiri dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) yang merupakan lembaga non-profit yang berbasis di Jenewa. Setiap tahun WEF menyelenggarakan pertemuan di Davos yang dihadiri oleh para eksekutif penting di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Secara khusus bahkan GCR menyebutkan bahwa salah satu daya saing yang menjadi competitive advantage Indonesia adalah efektivitas kebijakan antimonopoli, dan kemampuannya untuk mengatasi market dominance.
Dari beberapa laporan tersebut muncul sebuah pertanyaan, apakah ada kaitan persaingan usaha yang sehat dengan penciptaan iklim investasi? Sejauh mana peran persaingan sehat berdampak pada iklim investasi yang sehat?
Michael E. Porter, seorang pakar manajemen strategi dari Harvard Business School telah lama mengemukakan konsep yang kini sangat dikenal luas dalam dunia bisnis dan manajemen yaitu Porter’s Five Forces. Konsep ini merupakan kerangka berpikir sebagai landasan bisnis dan strategi yang sangat menentukan intensitas persaingan dan daya tarik dari sebuah pasar.
Menurut Porter, ada lima faktor yang mempengaruhi perusahaan untuk menjadi kompetitif:
Pertama, sebuah perusahaan yang berkecimpung dalam suatu industri yang menghasilkan profit akan menghadapi ancaman pesaing baru yang akan masuk karena tertarik untuk menangguk untung dari industri tersebut. Ketika pesaing baru telah masuk, akan mengancam keberadaan pelaku usaha yang sudah berada di pasar tersebut sebelumnya. Sebagai contoh, ketiika dibuka persaingan bebas pada sektor angkutan udara, pelaku usaha incumbent seperti Garuda Indonesia menghadapi banyak maskapai baru yang juga menawarkan jasa penerbangan yang sama, seperti Lion Air, Air Asia dan lain sebagainya.
Ke dua, intensitas persaingan lokal. Perusahaan akan berusaha untuk bertindak semakin efisien untuk memenangkan hati konsumen. Dalam industri ketika seluruh perusahaan berperilaku seperti itu maka industri akan semakin efisien.
Ke tiga, ancaman dari produk pesaing. Persaingan dari sisi harga dan kualitas akan menyebabkan perusahaan akan selalu berusaha untuk memproduksi barang dan/atau jasa dalam kualitas terbaik dengan harga yang paling murah.
Ke empat, keberadaan daya tawar konsumen. Dalam tahap tertentu konsumen dapat memiliki posisi tawar terhadap produsen untuk mempengaruhi harga jual ketika konsumen dapat berpindah ke produk pesaing jika produsen tidak mau menurunkan harga.
Ke lima, keberadaan daya tawar supplier dapat menjadi tekanan terhadap produsen untuk memberikan produk yang bersaing. Supplier dalam taraf tertentu dapat menekan produsen untuk membeli inputnya dengan harga yang tinggi ketika terdapat sedikit substitusi.
Meskipun banyak teori yang kemudian membantah maupun menambah teori Porter tersebut namun tetap lima kekuatan inilah yang mempengaruhi sebuah perusahaan untuk dapat memiliki daya saing dalam suatu industri. Dengan kata lain, sebuah perusahaan tidak akan memiliki daya saing tanpa keberadaan entitas maupun perusahaan lain dalam industri tersebut. Untuk itulah persaingan membuka pintu yang sangat lebar terhadap investasi. Masuknya perusahaan-perusahaan baru diharapkan dapat memberikan tekanan persaingan kepada perusahaan yang sudah ada di pasar untuk dapat memberikan produk yang bersaing baik dari sisi harga maupun kualitas.
Teori Five Forces dari Porter tersebut kemudian dikembangkan menjadi teori National Diamond yang mengatakan bahwa daya saing suatu industri dalam suatu perekonomian ditentukan oleh empat pilar utama yaitu kondisi faktor produksi, keberadaan industri penopang yang terkait, kondisi permintaan pasar, dan yang terakhir adalah struktur, strategi, dan persaingan usaha. Peran pemerintah dalam hal ini adalah sebagai katalisator agar perusahaan selalu berusaha untuk bekerja dalam tingkat kinerja yang kompetitif, salah satunya adalah penegakan hukum persaingan untuk menjamin tidak adanya perusahaan yang melakukan kecurangan.
Tingginya tingkat persaingan (rivalry) merupakan salah satu faktor utama daya saing suatu negara karena dapat menyalurkan alokasi ekonomi secara efisien, memicu terciptanya inovasi, murahnya harga dan peningkatan kualitas. Meskipun demikian perusahaan cenderung untuk bersikap menghindar dari persaingan. Oleh karena itu perlu kelembagaan yang menjamin persaingan tetap ada.
Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melakukan penyusunan Policy Framework for Investment (PFI) untuk Indonesia. Salah satu poin penting dalam penguatan PFI adalah keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia.
Terkait dengan kebijakan persaingan, tujuan dari PFI ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan mempromosikan persaingan usaha yang sehat dan mengendalikan perilaku yang menghambat persaingan. Keberadaan pasar yang kompetitif dapat mengarah kepada turunnya harga konsumen, meningkatnya partisipasi pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar melalui investasi, meningkatnya kualitas dan variasi produk.
Dalam perkembangannya OECD juga mengembangkan sebuah toolkit untuk mengevaluasi sejauh mana PFI tersebut diterapkan di perekonomian. Khusus mengenai kebijakan persaingan, terdapat tujuh pertanyaan dalam toolkit yang dapat menggambarkan penerapan PFI tersebut. Ketujuh pertanyaan tersebut antara lain tentang transparansi dan non-diskriminasi, implementasi hukum dan kebijakan persaingan, praktik antipersaingan, evaluasi kebijakan pemerintah dan harmonisasi kebijakan, kebijakan industri, privatisasi, serta kerjasama internasional.
Output dari kegiatan PFI ini kemudian dituangkan dalam laporan Investment Policy Report: Indonesia 2010 yang dapat dilihat di situs OECD. Sejauh ini KPPU sebagai lembaga otoritas penegak hukum persaingan di Indonesia memainkan peran penting dalam terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat yang sangat penting bagi peningkatan investasi.
Pada akhirnya kita kembali mencoba menjawab, seberapa penting keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia dapat membantu terciptanya peningkatan investasi? Jawabannya tentu sangat jelas bahwa keberadaan hukum persaingan usaha tidak dapat dipisahkan dari peningkatan investasi di Indonesia.
Comments
http://coretandeswin.blogspot.com/2011/02/peningkatan-investasi-dan-kebijakan.html
:)