Pada rezim pemerintahan terdahulu, kebijakan swasembada beras yang digembor-gemborkan pemerintah telah memberikan angin segar pada industri lain yang terkait. Salah satu industri yang terkena dampak kebijakan tersebut adalah industri pupuk yang pada masa itu semua dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keterlibatan pihak swasta pada industri ini hanya pada jenis pupuk majemuk dengan skala yang sangat kecil dan pasar yang terbatas. Meskipun demikian jarang sekali kita mendengar pada waktu itu terjadi anarkisme akibat pupuk langka.
Belakangan santer didengar adanya kelangkaan pupuk di berbagai daerah yang dialami oleh banyak petani baik yang terjadi di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Kelangkaan ini sudah bahkan sudah berada pada tingkat yang meresahkan karena telah menimbulkan anarkisme yang dilakukan oleh petani. Bentuk anarkisme tersebut berupa penyanderaan truk pupuk dan penjarahan. Masyarakat terlihat sudah tidak nyaman dengan kondisi pupuk yang langka belakangan ini. Jika dibiarkan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang komprehensif maka bukan tidak mungkin persolaan ini akan melebar.
Pupuk merupakan komoditas strategis di sektor pertanian. Pasokan pupuk akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan tanam di sektor pertanian. Bahkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 77 Tahun 2005 pupuk telah diklasifikasikan sebagai barang dalam pengawasan. Bagi sektor pertanian, tata niaga pupuk bersubsidi diatur melalui sistem rayonisasi yang tertuang dalam Permendag No. 21 Tahun 2008. Mengingat sektor pertanian merupakan sektor vital bagi perekonomian, harga pupuk pun disubsidi oleh pemerintah. Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 29 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi yaitu Pupuk Urea, ZA, Superphos, NPK, dan Organik. Meskipun regulasi tata niaga telah diberlakukan, para petani tetap merasakan kelangkaan.
Tata niaga pupuk bersubsidi di Indonesia yang diatur melalui Permendag No. 21 tersebut telah memberikan tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada para produsen pupuk BUMN antara lain PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kalimantan Timur, dan Pupuk Iskandar Muda. Para BUMN pupuk tersebut memiliki tanggung jawab wilayah penyaluran masing-masing. Dalam wilayah distribusi tersebut produsen, distributor, dan pengecer terintegrasi secara vertikal. Secara menurut Permendag 21 Pasal 3 disebutkan bahwa keseluruhan produsen sampai dengan pengecer bertanggung jawab dari Lini I yang merupakan lokasi gudang pupuk di wilayah pabrik masing-masing produsen atau di sampai dengan Lini IV yang merupakan lokasi gudang produsen atau distributor. Besaran kebutuhan pupuk di tiap daerah selalu dikoordinasikan dengan dinas terkait. Meskipun di pasal selanjutnya disebutkan bahwa jika terjadi kelangkaan pasokan maka produsen wilayah terkait bertanggung jawab untuk memenuhi kekurangan supply di tingkat petani, namun mekanisme ini terlihat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pelaku-pelaku usaha industri pupuk bersubsidi merupakan oligopolis dengan hanya beberapa produsen pupuk besar saja antara lain PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Pupuk Kalimantan Timur, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, dan PT. Pupuk Iskandar Muda. Dugaan adanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa kartel pasokan mengemuka setelah terbentuknya sebuah holding pupuk Indonesia yaitu PT. Pusri Holding. Keberadaan holding tersebut semakin kuat setelah pemerintah mengeluarkan regulasi pengaturan wilayah produksi dalam Permendag No. 21 Tahun 2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pembagian wilayah distribusi pupuk nasional yang dibagi menjadi beberapa rayon sebagai wilayah distribusi masing-masing produsen pupuk. Dalam sistem rayonisasi tersebut ada pembagian wilayah distribusi kepada para BUMN pupuk tersebut di seluruh wilayah Indonesia. PT. Pusri diberi kewenangan menguasai seluruh Sumatera, Jawa Tengah dan sebagian Kalimantan bagian barat, PT. Pupuk Kujang di seluruh Jawa Barat, PT. Petrokimia Gresik di wilayah Jawa Timur, dan PT. Pupuk Kaltim menguasai sisanya termasuk distribusi sampai dengan wilayah Indonesia timur.
Belakangan santer didengar adanya kelangkaan pupuk di berbagai daerah yang dialami oleh banyak petani baik yang terjadi di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Kelangkaan ini sudah bahkan sudah berada pada tingkat yang meresahkan karena telah menimbulkan anarkisme yang dilakukan oleh petani. Bentuk anarkisme tersebut berupa penyanderaan truk pupuk dan penjarahan. Masyarakat terlihat sudah tidak nyaman dengan kondisi pupuk yang langka belakangan ini. Jika dibiarkan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang komprehensif maka bukan tidak mungkin persolaan ini akan melebar.
Pupuk merupakan komoditas strategis di sektor pertanian. Pasokan pupuk akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan tanam di sektor pertanian. Bahkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 77 Tahun 2005 pupuk telah diklasifikasikan sebagai barang dalam pengawasan. Bagi sektor pertanian, tata niaga pupuk bersubsidi diatur melalui sistem rayonisasi yang tertuang dalam Permendag No. 21 Tahun 2008. Mengingat sektor pertanian merupakan sektor vital bagi perekonomian, harga pupuk pun disubsidi oleh pemerintah. Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 29 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi yaitu Pupuk Urea, ZA, Superphos, NPK, dan Organik. Meskipun regulasi tata niaga telah diberlakukan, para petani tetap merasakan kelangkaan.
Tata niaga pupuk bersubsidi di Indonesia yang diatur melalui Permendag No. 21 tersebut telah memberikan tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada para produsen pupuk BUMN antara lain PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kalimantan Timur, dan Pupuk Iskandar Muda. Para BUMN pupuk tersebut memiliki tanggung jawab wilayah penyaluran masing-masing. Dalam wilayah distribusi tersebut produsen, distributor, dan pengecer terintegrasi secara vertikal. Secara menurut Permendag 21 Pasal 3 disebutkan bahwa keseluruhan produsen sampai dengan pengecer bertanggung jawab dari Lini I yang merupakan lokasi gudang pupuk di wilayah pabrik masing-masing produsen atau di sampai dengan Lini IV yang merupakan lokasi gudang produsen atau distributor. Besaran kebutuhan pupuk di tiap daerah selalu dikoordinasikan dengan dinas terkait. Meskipun di pasal selanjutnya disebutkan bahwa jika terjadi kelangkaan pasokan maka produsen wilayah terkait bertanggung jawab untuk memenuhi kekurangan supply di tingkat petani, namun mekanisme ini terlihat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pelaku-pelaku usaha industri pupuk bersubsidi merupakan oligopolis dengan hanya beberapa produsen pupuk besar saja antara lain PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Pupuk Kalimantan Timur, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, dan PT. Pupuk Iskandar Muda. Dugaan adanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa kartel pasokan mengemuka setelah terbentuknya sebuah holding pupuk Indonesia yaitu PT. Pusri Holding. Keberadaan holding tersebut semakin kuat setelah pemerintah mengeluarkan regulasi pengaturan wilayah produksi dalam Permendag No. 21 Tahun 2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pembagian wilayah distribusi pupuk nasional yang dibagi menjadi beberapa rayon sebagai wilayah distribusi masing-masing produsen pupuk. Dalam sistem rayonisasi tersebut ada pembagian wilayah distribusi kepada para BUMN pupuk tersebut di seluruh wilayah Indonesia. PT. Pusri diberi kewenangan menguasai seluruh Sumatera, Jawa Tengah dan sebagian Kalimantan bagian barat, PT. Pupuk Kujang di seluruh Jawa Barat, PT. Petrokimia Gresik di wilayah Jawa Timur, dan PT. Pupuk Kaltim menguasai sisanya termasuk distribusi sampai dengan wilayah Indonesia timur.
Comments
Kemungkinan-kemungkinan:
- Regulasi pemerintah tidak mengizinkan swasta ikut bermain di industri pupuk
- Pengaturan harga membuat tingkat profit terlalu rendah sehingga swasta tidak tertarik masuk
Kadang intervensi pemerintah justru memperburuk keadaan daripada memperbaikinya. Cuma prinsip ini tidak dapat digebyah-uyah. Perlu diteliti benar.
ntar bisa ditelaah lbh lanjut