Regulasi mengenai tata niaga pupuk, HET, dan pembentukan holding pupuk ini yang sampai sekarang menjadi regulasi yang menjadi sorotan dalam kelangkaan pupuk ini apalagi ketika dikaitkan dengan kelangkaan pupuk bersubsidi. Ada beberapa permasalahan dalam regulasi-regulasi ini.
Pertama, dengan adanya kebijakan subsidi pupuk maka akan terjadi disparitas harga antara pupuk yang bersubsidi dengan pupuk non subsidi (komersial). Harga pupuk bersubsidi telah dipatok mengikuti HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagaimana dengan pupuk komersial yang harganya dilepas ke mekanisme pasar? Ternyata yang terjadi adalah tingkat harga pasar pupuk komersial terbentuk jauh berada di atas HET. Akibatnya ada kecenderungan terjadinya perembesan pupuk bersubsidi ke pupuk komersial yang terjadi dalam bentuk penjualan pupuk bersubsidi dalam bentuk non subsidi.
HET pupuk per kg menurut Permentan 29 tahun 2008 untuk tahun anggaran 2008
Pupuk Urea Rp1.200, Pupuk ZA Rp1.050, Pupuk Superphos Rp1.550, Pupuk NPK Phonska (15:15:15) Rp1.750, Pupuk NPK Pelangi (20:10:10) Rp1.830, Pupuk NPK Kujang (30:6:8) Rp1.586, Pupuk Organik Rp1.000
Kedua, kebijakan tata niaga dan rayonisasi yang selama ini diberlakukan melalui Permendag terbukti tidak berhasil mengatasi permasalahan kelangkaan pasokan. Beberapa kali aturan mengenai rayonisasi ini mengalami revisi mulai dari SK Menperindag No. 70 tahun 2003 sampai dengan yang paling baru adalah Permendag 21 tahun 2008 intinya sama arahnya yaitu pembagian wilayah distribusi pupuk bersubsidi ditentukan oleh pemerintah. Melalui Permentan No. 29 Tahun 2008 telah ditetapkan kebutuhan pupuk untuk setiap wilayah dan akan direvisi setiap tahun untuk disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan di tiap tahunnya. Sebenarnya regulasi-regulasi ini bertujuan baik yaitu untuk memberikan jaminan bagi petani baik dari sisi harga maupun pasokan maupun bagi produsen pupuk dari sisi kepastian wilayah tanggung jawabnya. Namun karena adanya kurang koordinasi di tingkat instansi, maka masih dijumpai juga masalah kelangkaan pupuk.
Dalam Permentan No. 29 Tahun 2008 juga telah dipatok kebutuhan pupuk yang wajib dipenuhi oleh produsen pupuk di masing-masing wilayah tanggung jawabnya. Namun demikian menurut keterangan beberapa narasumber seringkali Dinas sebagai perwakilan Departemen Pertanian di daerah mengalami kekurangan pasokan akibat permintaan yang melebihi alokasi yang telah ditetapkan dalam permentan tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh dinas adalah karena penggunaan pupuk oleh petani yang melebihi dosis dari yang dianjurkan.
Perbandingan Harga Pupuk Urea per Kg Menurut HET dengan
Harga Pokok Produksi (HPP) per Kg
Harga Eceran Tertinggi Rp 1.200
PT. Pupuk Sriwijaya Rp 2.100
PT. Pupuk Kaltim Rp 4.052
PT. Pupuk Kujang Rp 2.443
PT. Petrokimia Gresik Rp 2.168
Sumber: Departemen Pertanian
Dalam tata niaga memang sudah disebutkan bahwa produsen berkewajiban untuk memasok langsung ke pasar tanpa harus melalui lini distribusinya jika ada kelangkaan. Namun demikian insentif untuk melakukan itu tidak ada karena produsen sebagai entitas bisnis yang berorientasi laba tentu akan berfikir untuk tetap memasok pupuk bersubsidi. Produsen harus siap menanggung kerugian jika tidak ada subsidi tambahan mengingat alokasi yang dipasok produsen sudah dipenuhi.
Melihat beberapa fenomena permasalahan di atas perlu ada upaya untuk membenahi struktur tata niaga pupuk bersubsidi secara integral.
Pertama, kebijakan tata niaga pupuk telah memberikan kewenangan kepada para BUMN pupuk yang tergabung dalam holding untuk menguasai produksi dan distribusi pupuk bersubsidi dalam bentuk pembagian wilayah sehingga tercipta kondisi monopolistik yang memberikan pelaku usaha kekuatan pasar (market power). Kebijakan yang ada tidak memberikan ruang kepada tumbuh dan berkembangnya perusahaan swasta untuk masuk ke pasar dan membantu menjaga produksi pupuk agar tidak terjadi kelangkaan. Pelaku usaha swasta hanya dibuka pada lini IV yaitu pengecer. Pada kondisi monopoli ini rawan terjadi kartel antar pelaku usaha. Secara teori kekuatan pasar yang ditimbulkan dari keberadaan regulasi ini akan timbul dalam bentuk kartel produksi/pasokan yang telah dilarang melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Kebijakan subsidi melalui penetapan HET jika dilihat dari sudut pandang persaingan usaha memberikan distorsi pencapaian efisiensi statis, dinamis, dan alokatif. Namun demikian pencabutan serta merta subsidi bukanlah merupakan solusi yang tepat. Dari sudut pandang harga, jika tidak ada subsidi jelas para produsen rugi dengan penetapan HET tersebut karena tetap bergantung pada patokan HPP dari pemerintah. Dari sisi tekanan persaingan, produsen tidak memiliki insentif untuk melakukan inovasi karena pemerintah telah menjamin penjualan produk pupuk tersebut tanpa perlu diperjuangkan dengan bersaing. Dari sisi alokasi, peningkatan produksi pertanian tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan akan pupuk. Hal ini menandakan bahwa penggunaan pupuk masih terlalu boros dan belum efisien akibat harga pupuk yang masih relatif terlalu murah.
Pertama, dengan adanya kebijakan subsidi pupuk maka akan terjadi disparitas harga antara pupuk yang bersubsidi dengan pupuk non subsidi (komersial). Harga pupuk bersubsidi telah dipatok mengikuti HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagaimana dengan pupuk komersial yang harganya dilepas ke mekanisme pasar? Ternyata yang terjadi adalah tingkat harga pasar pupuk komersial terbentuk jauh berada di atas HET. Akibatnya ada kecenderungan terjadinya perembesan pupuk bersubsidi ke pupuk komersial yang terjadi dalam bentuk penjualan pupuk bersubsidi dalam bentuk non subsidi.
HET pupuk per kg menurut Permentan 29 tahun 2008 untuk tahun anggaran 2008
Pupuk Urea Rp1.200, Pupuk ZA Rp1.050, Pupuk Superphos Rp1.550, Pupuk NPK Phonska (15:15:15) Rp1.750, Pupuk NPK Pelangi (20:10:10) Rp1.830, Pupuk NPK Kujang (30:6:8) Rp1.586, Pupuk Organik Rp1.000
Kedua, kebijakan tata niaga dan rayonisasi yang selama ini diberlakukan melalui Permendag terbukti tidak berhasil mengatasi permasalahan kelangkaan pasokan. Beberapa kali aturan mengenai rayonisasi ini mengalami revisi mulai dari SK Menperindag No. 70 tahun 2003 sampai dengan yang paling baru adalah Permendag 21 tahun 2008 intinya sama arahnya yaitu pembagian wilayah distribusi pupuk bersubsidi ditentukan oleh pemerintah. Melalui Permentan No. 29 Tahun 2008 telah ditetapkan kebutuhan pupuk untuk setiap wilayah dan akan direvisi setiap tahun untuk disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan di tiap tahunnya. Sebenarnya regulasi-regulasi ini bertujuan baik yaitu untuk memberikan jaminan bagi petani baik dari sisi harga maupun pasokan maupun bagi produsen pupuk dari sisi kepastian wilayah tanggung jawabnya. Namun karena adanya kurang koordinasi di tingkat instansi, maka masih dijumpai juga masalah kelangkaan pupuk.
Dalam Permentan No. 29 Tahun 2008 juga telah dipatok kebutuhan pupuk yang wajib dipenuhi oleh produsen pupuk di masing-masing wilayah tanggung jawabnya. Namun demikian menurut keterangan beberapa narasumber seringkali Dinas sebagai perwakilan Departemen Pertanian di daerah mengalami kekurangan pasokan akibat permintaan yang melebihi alokasi yang telah ditetapkan dalam permentan tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh dinas adalah karena penggunaan pupuk oleh petani yang melebihi dosis dari yang dianjurkan.
Perbandingan Harga Pupuk Urea per Kg Menurut HET dengan
Harga Pokok Produksi (HPP) per Kg
Harga Eceran Tertinggi Rp 1.200
PT. Pupuk Sriwijaya Rp 2.100
PT. Pupuk Kaltim Rp 4.052
PT. Pupuk Kujang Rp 2.443
PT. Petrokimia Gresik Rp 2.168
Sumber: Departemen Pertanian
Dalam tata niaga memang sudah disebutkan bahwa produsen berkewajiban untuk memasok langsung ke pasar tanpa harus melalui lini distribusinya jika ada kelangkaan. Namun demikian insentif untuk melakukan itu tidak ada karena produsen sebagai entitas bisnis yang berorientasi laba tentu akan berfikir untuk tetap memasok pupuk bersubsidi. Produsen harus siap menanggung kerugian jika tidak ada subsidi tambahan mengingat alokasi yang dipasok produsen sudah dipenuhi.
Melihat beberapa fenomena permasalahan di atas perlu ada upaya untuk membenahi struktur tata niaga pupuk bersubsidi secara integral.
Pertama, kebijakan tata niaga pupuk telah memberikan kewenangan kepada para BUMN pupuk yang tergabung dalam holding untuk menguasai produksi dan distribusi pupuk bersubsidi dalam bentuk pembagian wilayah sehingga tercipta kondisi monopolistik yang memberikan pelaku usaha kekuatan pasar (market power). Kebijakan yang ada tidak memberikan ruang kepada tumbuh dan berkembangnya perusahaan swasta untuk masuk ke pasar dan membantu menjaga produksi pupuk agar tidak terjadi kelangkaan. Pelaku usaha swasta hanya dibuka pada lini IV yaitu pengecer. Pada kondisi monopoli ini rawan terjadi kartel antar pelaku usaha. Secara teori kekuatan pasar yang ditimbulkan dari keberadaan regulasi ini akan timbul dalam bentuk kartel produksi/pasokan yang telah dilarang melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Kebijakan subsidi melalui penetapan HET jika dilihat dari sudut pandang persaingan usaha memberikan distorsi pencapaian efisiensi statis, dinamis, dan alokatif. Namun demikian pencabutan serta merta subsidi bukanlah merupakan solusi yang tepat. Dari sudut pandang harga, jika tidak ada subsidi jelas para produsen rugi dengan penetapan HET tersebut karena tetap bergantung pada patokan HPP dari pemerintah. Dari sisi tekanan persaingan, produsen tidak memiliki insentif untuk melakukan inovasi karena pemerintah telah menjamin penjualan produk pupuk tersebut tanpa perlu diperjuangkan dengan bersaing. Dari sisi alokasi, peningkatan produksi pertanian tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan akan pupuk. Hal ini menandakan bahwa penggunaan pupuk masih terlalu boros dan belum efisien akibat harga pupuk yang masih relatif terlalu murah.
Comments
>> Kualitas pupuk urea produksi PT Pupuk Kaltim lebih baik dari lainnya.
>> HPP mencakup biaya transportasi di mana PT Pupuk Kaltim menanggungnya lebih besar dari pabrik lain karena wilayah kerjanya mencakup Kalimantan bagian timur dan seluruh wilayah Indonesia Timur
Sepertinya kualitas pupuk urea antarprodusen tidak signifikan berbeda. Faktor biaya transportasi lebih mungkin menjelaskan tingginya HPP PT Pupuk Kaltim.
Kedua, penetapan HET dan pemberian subsidi bukanlah penyebab mandeknya inovasi produsen untuk meningkatkan efisiensi. Pada harga yang ditetapkan pemerintah sekalipun, produsen masih memiliki insentif untuk meningkatkan efisiensi karena akan meningkatkan laba mereka. Efisiensi juga tetap meningkatkan keuntungan dalam situasi harga disubsidi.
Produsen pupuk di Indonesia yang dimiliki negara tidak memiliki insentif untuk melakukan efisiensi karena kinerja mereka tidak diukur dari efisiensinya. Tugas utama BUMN tersebut adalah menyediakan pupuk dalam jumlah yang mencukupi permintaan. Besarnya biaya produksi atau keuntungan tidak menjadi perhatian pemerintah sebagai prinsipal mereka.
Komentar dan analisis selengkapnya kuposting di komentar-ekonomi
LHB