Jika kita mendengar kata franchise (waralaba) seringkali yang terbayang dalam pikiran kita adalah gerai makanan cepat saji seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonalds, atau gerai kopi terkenal Starbucks. Mungkin banyak diantara kita yang sering mengunjungi gerai-gerai tersebut untuk sekedar makan siang atau bahkan sekedar mencari tempat nongkrong sambil menyeruput secangkir frappucino sembari berbincang sore. Memang benar bahwa beberapa gerai tersebut merupakan franchise yang terbilang sudah established di Indonesia baik dari sisi brand maupun sistemnya. Namun demikian jika kita hanya melihat franchise-franchise luar negeri tersebut maka kita hanya melihat sebagian kecil dari perkembangan franchise di Indonesia. Gerai franchise pun tidak terbatas ada di sektor makanan dan minuman saja namun juga telah merambah sampai bisnis ritel, otomotif, farmasi, bahkan sampai di pendidikan. Di sisi lain perkembangan franchise lokal Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam sepuluh tahun terakhir.
Pesatnya perkembangan waralaba di Indonesia tidak terlepas dari gairah investor skala menengah yang cukup agresif membenamkan investasinya di bidang ini. Investor-investor ini dapat bertindak sebagai franchisor (pemberi waralaba) maupun franchisee (penerima waralaba). Namun demikian dibalik agresifnya para franchisor untuk melebarkan sayap bisnisnya tersirat bahaya yang mengancam para franchisee bila tidak berhati-hati dan selektif dalam memilih bidang usaha mana yang akan digelutinya. Risiko yang dihadapi kebanyakan waralaba adalah sulitnya pengembalian modal. Hal ini terkait dengan prospektifnya sebuah bisnis waralaba yang berbeda di satu tempat dengan di tempat yang lain tergantung dari karakter konsumennya dan tidak terlepas juga dengan kualitas manajemen dari waralaba tersebut. Oleh karena itu Departemen Perdagangan kini telah memiliki regulasi yang mengatur seluk beluk bisnis waralaba dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 31 Tahun 2008. Dalam regulasi-regulasi ini diatur persyaratan yang cukup ketat bagi perusahaan yang ingin mewaralabakan bisnisnya. Jika masih belum dapat memenuhi kriteria yang ditentukan oleh PP tersebut, maka cukuplah disebut Business Opportunities (BO) daripada waralaba.
Definisi teknis waralaba yang tertuang dalam PP No. 42 Tahun 2007 adalah “hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”. Dari definisi teknis ini telah dapat dilihat semangat pemerintah bahwa bisnis yang telah diwaralabakan adalah bisnis yang benar-benar terbukti baik dari sisi profitabilitasnya maupun kemanfaatannya. Pihak lain ini dapat berupa konsumen maupun pihak lain yang ingin memperoleh hak waralaba tersebut. Mengingat waralaba dapat diperoleh melalui perjanjian maka tetap dikedepankan asas kebebasan berkontrak yang harus dipatuhi masing-masing pihak.
PP No. 42 Tahun 2007 telah menyebutkan bahwa untuk dapat disebut sebagai waralaba, sebuah bisnis harus memenuhi beberapa kriteria antara lain memiliki ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya dukungan yang berkesinambungan, dan memiliki hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar. Di samping itu pemerintah juga telah mewajibkan pemilik waralaba untuk mendaftarkan prospektus waralabanya kepada pemerintah. Beberapa kriteria tersebut serta kewajiban pendaftaran prospektus tersebut ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan agar sebuah franchise yang terdaftar merupakan franchise yang benar-benar sudah well-established. Upaya pemerintah ini juga telah sejalan dengan semangat penciptaan karakter industri yang kuat sehingga dapat memberikan manfaat bagi rakyat seperti penciptaan lapangan kerja baru.
Perlu diketahui bahwa semaraknya waralaba tidak terlepas dari kalangan investor skala menengah yang haus akan investasi. Para franchisor tentu saja sangat gembira dengan kondisi ini. Di saat mereka berusaha untuk memperlebar sayap bisnisnya dengan membuka gerai-gerai baru, di sisi lain gayung bersambut, investor sedang mencari lahan yang profitable untuk disentuh. Bervariasinya ‘warna lokal’ yang dapat dijadikan sebagai ide konsep bisnis di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai peluang bagi investor yang ingin terjun di dalamnya. Beberapa waralaba lokal seperti AutoBridal dan Shop & Drive juga telah membuktikan ketangguhannya dengan menembus pasar luar negeri. Waralaba ritel minimarket seperti Alfamart dan Indomaret juga menyajikan keunggulan kemudahan akses dan simplisitas untuk penggunaan sehari-hari kepada konsumen jika dibandingkan dengan jika harus berbelanja di hipermarket. Waralaba yang makanan dan minuman seperti Solaria, J.Co, dan Obonk Steak juga prospektif mengingat kebutuhan makan dan minum merupakan kebutuhan alami yang akan selalu ada sehingga akan selalu ada peluang usaha di bidang tersebut.
Namun demikian perlu disadari bahwa tidak selamanya bisnis menguntungkan. Ada kalanya dijumpai bidang bisnis meskipun sudah diwaralabakan mengalami kemerosotan baik berupa penutupan sejumlah gerai sampai pada risiko gulung tikar. Biasanya waralaba yang mengalami kemerosotan tersebut disebabkan beberapa hal antara lain baik dari sisi franchisor maupun dari sisi franchisee. Dari sisi franchisor, umumnya penyebab kegagalan franchise adalah dari sisi produk yang kurang menjual, kurangnya pemahaman tentang franchise, serta kurangnya kejelasan visi dan misi dan komitmen sehingga perencanaan menjadi kurang matang. Sedangkan penyebab kegagalan dari sisi franchisee antara lain kurangnya pemahaman tentang sistem yang dipakai oleh franchisor, kontrol franchisor terhadap franchisee yang lemah. Kemerosotan omset bagi waralaba bisa dalam bentuk penutupan gerai bahkan sampai kepada risiko gulung tikar.
(bersambung ... )
Pesatnya perkembangan waralaba di Indonesia tidak terlepas dari gairah investor skala menengah yang cukup agresif membenamkan investasinya di bidang ini. Investor-investor ini dapat bertindak sebagai franchisor (pemberi waralaba) maupun franchisee (penerima waralaba). Namun demikian dibalik agresifnya para franchisor untuk melebarkan sayap bisnisnya tersirat bahaya yang mengancam para franchisee bila tidak berhati-hati dan selektif dalam memilih bidang usaha mana yang akan digelutinya. Risiko yang dihadapi kebanyakan waralaba adalah sulitnya pengembalian modal. Hal ini terkait dengan prospektifnya sebuah bisnis waralaba yang berbeda di satu tempat dengan di tempat yang lain tergantung dari karakter konsumennya dan tidak terlepas juga dengan kualitas manajemen dari waralaba tersebut. Oleh karena itu Departemen Perdagangan kini telah memiliki regulasi yang mengatur seluk beluk bisnis waralaba dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 31 Tahun 2008. Dalam regulasi-regulasi ini diatur persyaratan yang cukup ketat bagi perusahaan yang ingin mewaralabakan bisnisnya. Jika masih belum dapat memenuhi kriteria yang ditentukan oleh PP tersebut, maka cukuplah disebut Business Opportunities (BO) daripada waralaba.
Definisi teknis waralaba yang tertuang dalam PP No. 42 Tahun 2007 adalah “hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”. Dari definisi teknis ini telah dapat dilihat semangat pemerintah bahwa bisnis yang telah diwaralabakan adalah bisnis yang benar-benar terbukti baik dari sisi profitabilitasnya maupun kemanfaatannya. Pihak lain ini dapat berupa konsumen maupun pihak lain yang ingin memperoleh hak waralaba tersebut. Mengingat waralaba dapat diperoleh melalui perjanjian maka tetap dikedepankan asas kebebasan berkontrak yang harus dipatuhi masing-masing pihak.
PP No. 42 Tahun 2007 telah menyebutkan bahwa untuk dapat disebut sebagai waralaba, sebuah bisnis harus memenuhi beberapa kriteria antara lain memiliki ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya dukungan yang berkesinambungan, dan memiliki hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar. Di samping itu pemerintah juga telah mewajibkan pemilik waralaba untuk mendaftarkan prospektus waralabanya kepada pemerintah. Beberapa kriteria tersebut serta kewajiban pendaftaran prospektus tersebut ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan agar sebuah franchise yang terdaftar merupakan franchise yang benar-benar sudah well-established. Upaya pemerintah ini juga telah sejalan dengan semangat penciptaan karakter industri yang kuat sehingga dapat memberikan manfaat bagi rakyat seperti penciptaan lapangan kerja baru.
Perlu diketahui bahwa semaraknya waralaba tidak terlepas dari kalangan investor skala menengah yang haus akan investasi. Para franchisor tentu saja sangat gembira dengan kondisi ini. Di saat mereka berusaha untuk memperlebar sayap bisnisnya dengan membuka gerai-gerai baru, di sisi lain gayung bersambut, investor sedang mencari lahan yang profitable untuk disentuh. Bervariasinya ‘warna lokal’ yang dapat dijadikan sebagai ide konsep bisnis di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai peluang bagi investor yang ingin terjun di dalamnya. Beberapa waralaba lokal seperti AutoBridal dan Shop & Drive juga telah membuktikan ketangguhannya dengan menembus pasar luar negeri. Waralaba ritel minimarket seperti Alfamart dan Indomaret juga menyajikan keunggulan kemudahan akses dan simplisitas untuk penggunaan sehari-hari kepada konsumen jika dibandingkan dengan jika harus berbelanja di hipermarket. Waralaba yang makanan dan minuman seperti Solaria, J.Co, dan Obonk Steak juga prospektif mengingat kebutuhan makan dan minum merupakan kebutuhan alami yang akan selalu ada sehingga akan selalu ada peluang usaha di bidang tersebut.
Namun demikian perlu disadari bahwa tidak selamanya bisnis menguntungkan. Ada kalanya dijumpai bidang bisnis meskipun sudah diwaralabakan mengalami kemerosotan baik berupa penutupan sejumlah gerai sampai pada risiko gulung tikar. Biasanya waralaba yang mengalami kemerosotan tersebut disebabkan beberapa hal antara lain baik dari sisi franchisor maupun dari sisi franchisee. Dari sisi franchisor, umumnya penyebab kegagalan franchise adalah dari sisi produk yang kurang menjual, kurangnya pemahaman tentang franchise, serta kurangnya kejelasan visi dan misi dan komitmen sehingga perencanaan menjadi kurang matang. Sedangkan penyebab kegagalan dari sisi franchisee antara lain kurangnya pemahaman tentang sistem yang dipakai oleh franchisor, kontrol franchisor terhadap franchisee yang lemah. Kemerosotan omset bagi waralaba bisa dalam bentuk penutupan gerai bahkan sampai kepada risiko gulung tikar.
(bersambung ... )
Comments