Salah satu yang menjadi karakter utama dari sebuah bisnis waralaba adalah ciri khas yang melekat. Ciri khas inilah yang tidak semua orang dapat memperolehnya. Untuk itu terkadang ciri khas ini dianggap sebagai sebuah kekayaan intelektual yang dapat dijual baik dari karakter produknya sendiri, sisi business process, atau dari kemasannya. Tidak dipungkiri perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi isu yang sangat terkait erat dengan keberadaan waralaba itu sendiri. Apalagi di negara Indonesia yang dapat dikatakan perlindungan hukum terhadap HAKI masih relatif lemah. Di saat setiap pengusaha gencar untuk mencari diferensiasi atas sebuah produk yang ditawarkan, keberadaan perlindungan HAKI merupakan alat yang diharapkan mampu menjembatani harapan pengusaha untuk tetap mempertahankan ciri khas yang merupakan intangible asset sebagai sebuah daya saing bisnis (competitiveness).
Sistem perlindungan HAKI di Indonesia sebenarnya sudah diakomodasi melalui beberapa Undang-Undang (UU) antara lain UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, UU No. 18 Tahun 2001 tentang Merk, dan masih ada beberapa UU lain yang terkait dengan perlindungan HAKI seperti rahasia dagang dan bahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 itu sendiri. Namun demikian, terkait dengan persaingan usaha, isu HAKI menjadi diskursus mengingat ada dua sisi yang harus dilihat. Pertama, perlindungan HAKI merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan sebuah bisnis mengingat HAKI merupakan intangible asset yang harus dipelihara eksistensinya sebagai sebuah daya saing. Kedua, HAKI dapat digunakan sebagai modus operandi bagi pelaku usaha untuk melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bentuknya bisa bermacam-macam salah dan satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan. Kasus yang sangat terkenal terkait dengan perilaku tersebut seperti terjadi pada Microsoft.
Beberapa waktu lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menerbitkan pedoman pasal 50 huruf (b) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mengecualikan kegiatan waralaba pada derajat tertentu dari Undang-Undang Persaingan Usaha tersebut. Poin utama dari perjanjian waralaba yang dikecualikan dalam UU No. 5 Tahun 1999 antara lain terkait dengan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang terkandung di dalamnya. Sehingga sebenarnya yang dikecualikan mengenai waralaba menurut pedoman tersebut adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Namun poin-poin yang tercantum dalam perjanjian waralaba dapat mencakup banyak hal di luar HAKI dan lisensi seperti disebutkan sebelumnya. Klausula perjanjian penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba, jika berpotensi melahirkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka hal-hal tersebut tidak termasuk dalam pengecualian yang dimaksud dalam Pasal 50 (b) tersebut.
Selain ketentuan mengenai HAKI, penerapan ketentuan pengecualian waralaba dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut sebenarnya telah serasi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pasal 26 Undang-Undang UMKM telah mengatur pola kemitraan dengan sistem waralaba. Di Pasal 29 kemudian menyebutkan bahwa pelaku usaha yang ingin mewaralabakan bisnisnya harus memberikan prioritas bagi usaha kecil dan menengah. Selain itu waralaba juga harus mengutamakan penggunaan barang yang berasal dari dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu yang diharuskan dalam waralaba tersebut. Pewaralaba juga secara berkesinambungan diharuskan untuk memberikan pelatihan baik dalam bentuk bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada terwaralaba. Ketentuan prioritas penggunaan produksi dalam negeri dan kemitraan dengan UMKM di Undang-Undang UMKM sebenarnya juga telah diadopsi oleh PP Waralaba No. 42 Tahun 2007 di Pasal 9.
Keberadaan waralaba yang semakin marak beberapa tahun terakhir ini tidak mungkin dihindari lagi. Waralaba merupakan strategi yang efektif untuk mengembangkan jejaring bisnis sebuah entitas usaha dengan tidak menghilangkan karakter perusahaan yang sudah menjadi ciri khas waralaba yang bersangkutan. Dalam lingkungan persaingan bisnis yang makin ketat dan kondisi siklus produk yang pendek, pelaku usaha harus memiliki strategi untuk tetap berdaya saing. Identifikasi keunggulan kekayaan intelektual dan penggunaannya secara tepat merupakan upaya yang sangat strategis untuk tetap mempertahankan daya saing bisnisnya. Wralaba merupakan salah satu strategi yang efisien untuk mengkonversi kekayaan intelektual menjadi laba.
Sistem perlindungan HAKI di Indonesia sebenarnya sudah diakomodasi melalui beberapa Undang-Undang (UU) antara lain UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, UU No. 18 Tahun 2001 tentang Merk, dan masih ada beberapa UU lain yang terkait dengan perlindungan HAKI seperti rahasia dagang dan bahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 itu sendiri. Namun demikian, terkait dengan persaingan usaha, isu HAKI menjadi diskursus mengingat ada dua sisi yang harus dilihat. Pertama, perlindungan HAKI merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan sebuah bisnis mengingat HAKI merupakan intangible asset yang harus dipelihara eksistensinya sebagai sebuah daya saing. Kedua, HAKI dapat digunakan sebagai modus operandi bagi pelaku usaha untuk melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bentuknya bisa bermacam-macam salah dan satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan. Kasus yang sangat terkenal terkait dengan perilaku tersebut seperti terjadi pada Microsoft.
Beberapa waktu lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menerbitkan pedoman pasal 50 huruf (b) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mengecualikan kegiatan waralaba pada derajat tertentu dari Undang-Undang Persaingan Usaha tersebut. Poin utama dari perjanjian waralaba yang dikecualikan dalam UU No. 5 Tahun 1999 antara lain terkait dengan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang terkandung di dalamnya. Sehingga sebenarnya yang dikecualikan mengenai waralaba menurut pedoman tersebut adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Namun poin-poin yang tercantum dalam perjanjian waralaba dapat mencakup banyak hal di luar HAKI dan lisensi seperti disebutkan sebelumnya. Klausula perjanjian penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba, jika berpotensi melahirkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka hal-hal tersebut tidak termasuk dalam pengecualian yang dimaksud dalam Pasal 50 (b) tersebut.
Selain ketentuan mengenai HAKI, penerapan ketentuan pengecualian waralaba dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut sebenarnya telah serasi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pasal 26 Undang-Undang UMKM telah mengatur pola kemitraan dengan sistem waralaba. Di Pasal 29 kemudian menyebutkan bahwa pelaku usaha yang ingin mewaralabakan bisnisnya harus memberikan prioritas bagi usaha kecil dan menengah. Selain itu waralaba juga harus mengutamakan penggunaan barang yang berasal dari dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu yang diharuskan dalam waralaba tersebut. Pewaralaba juga secara berkesinambungan diharuskan untuk memberikan pelatihan baik dalam bentuk bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada terwaralaba. Ketentuan prioritas penggunaan produksi dalam negeri dan kemitraan dengan UMKM di Undang-Undang UMKM sebenarnya juga telah diadopsi oleh PP Waralaba No. 42 Tahun 2007 di Pasal 9.
Keberadaan waralaba yang semakin marak beberapa tahun terakhir ini tidak mungkin dihindari lagi. Waralaba merupakan strategi yang efektif untuk mengembangkan jejaring bisnis sebuah entitas usaha dengan tidak menghilangkan karakter perusahaan yang sudah menjadi ciri khas waralaba yang bersangkutan. Dalam lingkungan persaingan bisnis yang makin ketat dan kondisi siklus produk yang pendek, pelaku usaha harus memiliki strategi untuk tetap berdaya saing. Identifikasi keunggulan kekayaan intelektual dan penggunaannya secara tepat merupakan upaya yang sangat strategis untuk tetap mempertahankan daya saing bisnisnya. Wralaba merupakan salah satu strategi yang efisien untuk mengkonversi kekayaan intelektual menjadi laba.
Comments