Pemulihan ekonomi global menghadapi ketidakpastian. Sektor manufaktur dan perdagangan global melambat tajam di tahun 2012 didorong oleh pelemahan ekonomi negara maju dan berdampak spillover ke emerging market. Prediksi pertumbuhan global lebih lambat berdasarkan asumsi bahwa eurozone akan secara gradual akan melonggarkan (easing) kondisi finansialnya, serta kemungkinan AS akan menghindari kebijakan ‘fiscal cliff’. Meskipun belum ada kemajuan signifikan namun beberapa indikator utama menunjukkan kemajuan merespon kebijakan-kebijakan di Eropa dan easing yang dilakukan oleh The Fed. Fundamental ekonomi EM tetap kuat, tingginya employment dan solidnya permintaan domestik dibantu oleh kebijakan pelonggaran makro dapat mendorong demand domestik di EM. Meskipun demikian tingkat pertumbuhan diproyeksikan belum akan kembali ke level pra krisis
Pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Pasifik mengalami perlambatan akibat lesunya ekonomi global didukung oleh faktor domestik di Cina dan India yang berdampak kepada kawasan. Namun demikian beberapa negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina) menunjukkan resiliensi yang kuat terhadap momentum global weakening karena sokongan dari investasi publik. Secara umum pada semester awal tahun 2012 pertumbuhan GDP di Asia menuju titik terendah sejak krisis finansial global tahun 2008. Dalam konteks ini, dengan kondisi tekanan inflasi dan easing, stance makroekonomi diarahkan untuk mendukung penguatan domestic demand dan easing policy untuk mengantisipasi pelambatan global. Sejauh ini kondisi finansial tetap akomodatif serta capital inflow tetap berlanjut. Ke depan pertumbuhan akan naik perlahan. Tahun depan Asia tetap akan tumbuh lebih cepat 2% dari rata-rata dunia dan menjadi pemimpin pertumbuhan global. Dalam lingkungan ketidakpastian ini kebijakan makro diarahkan kepada pertumbuhan yang non-inflationary, menjaga stabilitas finansial, dan tetap responsif terhadap kemungkinan downsized risk. Reformasi struktural dan fiskal untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif dan sustainable tetap menjadi prioritas.
Perkembangan Terkini
- Pertumbuhan ekonomi di Asia lebih lambat dari perkiraan akibat pelemahan global ini. Meskipun sudah terdapat rebound akan tetapi aktivitas tetap berjalan lambat. Spillover dari sisi perdagangan akibat lemahnya Eurozone masih akan terasa di Asia. Secara umum Asia tumbuh rata-rata 5,5% yoy pada semester I-2012 masih lebih tinggi dari rata-rata global namun masih tetap paling lambat sejak dimulainya krisis tahun 2008. Faktor domestik terutama di Cina dan India menyebabkan sentimen investor menjadi terganggu. Di Jepang pelemahan konsumsi menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan pada pertengahan awal tahun 2012.Beberapa neara di ASEAN telah mendorong trend regional untuk dapat tumbuh mendekati kemampuan potensialnya didukung oleh investasi publik. Australia juga merasakan pertumbuhan yang cukup baik didorong oleh investasi pertambangan yang membaik.
- Akibat dari lemahnya aktivitas global dan turunnya harga komoditas dunia, tingkat inflasi menjadi turun di awal 2012 mendorong bank sentral untuk tetap mempertahankan kebijakan moneternya atau bahkan memangkas tingkat suku bunga. Stance kebijakan makro yang akomodatif dengan kebijakan lending rate yang berada 150 bps di bawah tingkat sebelum 2008 kondusif dalam mendukung permintaan domestik, ditambah lagi dengan meningkatnya penjualan ritel, stabilnya pertumbuhan kredit swasta dimana di ASEAN beberapa negara masih memiliki rasio kredit/GDP di bawah rata-rata. Tingkat pengangguran juga masih rendah, relatif sama dengan sebelum 2008.
- Capital inflow tetap berlanjut merefleksikan kebijakan easing yang telah dilakukan menyikapi volatilitas di awal 2012. Shifting pada aliran portfolio yang didorong pada adanya perpindahan aliran equity serta pasar local bonds Asia yang masih atraktif menandakan fundamental yang relatif kuat dalam pasar investasi di Asia. Tingkat sovereign bond dan spread CDS telah kembali kepada tingkat rendah semasa pre-krisis. Proses deleveraging bank-bank Eropa di pasar Asia yang sempat terhenti di triwulan pertama 2012 telah berdampak pada sistem keuangan kawasan meskipun dampaknya terasa di satu sisi saja seperti pada pembiayaan proyek jangka panjang. Klaim perbankan Eropa di pasar Asia relatif moderat dibandingkan di regional EM lainnya dan sebagian besar berbasis simpanan domestik. Peningkatan aktivitas cross-border didukung oleh balance sheet yang sehat dari perbankan di kawasan (terutama Jepang dan Australia) merupakan buffer tambahan.
Outlook dan Risiko
- Outlook jangka pendek tetap terlihat stagnan. Indikator utama yang menggambarkan variabel aktivitas industri di Asia baik negara-negara large exporter maupun small exporter menunjukkan momentum stabilisasi di tw3 – tw4-12. Pertumbuhan yang stabil dari tingkat inventory mendorong perbaikan prospek pertumbuhan termasuk di Cina. Setelah sempat melambat pada tahun 2011, pertumbuhan di Asia diperkirakan stabil pada tingkat 5,5% lebih rendah 0,5% dari tahun 2011. Pertumbuhan akan terjadi sampai dengan 6% pada tahun 2013 didorong oleh menguatnya external demand. Hal ini dapat terjadi dengan bantuan bank sentral perekonomian utama di kawasan dalam menciptakan kebijakan makroekonomi yang akomodatif. Setidaknya sampai 3 tahun ke depan pertumbuhan di Asia masih berada di bawah level sebelum krisis. Jepang sedikit berbeda dari trend regional karena kinerja peningkatan ekspor tertutup oleh pengeluaran rekonstruksi pascabencana alam. Surplus current account baik di EM dan NIE Asia meskipun masih akan naik namun masih tetap akan lebih rendah di tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2011.
- Risiko terhadap outlook ini masih dalam batas wajar. Masih tetap ada risiko turun, meskipun kondisi moneter yang akomodatif dan capital flow meingkatkan peluang bahwa pertumbuhan di Asia lebih baik lagi jika pengambil kebijakan di US dan EU tetap menjalankan komitmen. External demand yang kuat masih tergantung dari kebijakan easing di EU dan bagaimana US menghindari kondisi fiscal cliff. Meskipun demikian IMF masih memprediksikan masih akan ada peluang 1/7 kondisi pertumbuhan Asia jatuh dibawah 4% di tahun 2013 mendekati tingkat observasi tahun 2009 saat kejatuhan Lehman Brothers. Dengan menggunakan skenario ‘weak policies’ dan tingkat kredit yang rendah, tingkat spread sovereign dan corporate di EM, IMF mengestimasi bahwa pertumbuhan GDP di Asia turun sebesar 1% di bawah proyeksi baseline (IMF-WEO Oktober 2012). Kawasan ekonomi lain akan mendapat pengaruh lebih besar karena linkage perdagangan dan keuangan dengan Eropa yang cukup besar.
- Risiko dari channel perdagangan masih akan tetap kuat. Sekitar 2/3 ekspor EM Asia terhubung dengan Eropa dan AS saja. Oleh karena itu turunnya external demand termasuk dampak turunnya investasi dan employment di sektor terkait ekspor dapat memberikan dorongan menurun yang kuat terhadap kinerja negara open economies di Asia akibat adanya perlambatan global dan dan eskalasi krisis euro-asia dan shock fiskal di AS.
- Terkait risiko channel finansial, masih ada risiko dari proses deleveraging yang agresif dari Eropa. Meskipun fundamental ekonomi dan kebijakan di Asia dapat menjadi buffer dari spillover di pasar keuangan, deleveraging yang agresif dari perbankan Eropa dan pelarian modal dari Asia ke safe haven tradisional lainnya dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan Asia. ASEAN dan EM Asia timur (selain Cina) berpotensi terkena dampak yang cukup besar karena tingkat sensitivitas finansial terhadap shock dari advanced economies cukup tinggi sebelumnya.
- Kenaikan harga bahan makanan dan minyak dapat berdampak downside risk dengan turunnya permintaan domestik dan keterbatasan kebijakan moneter untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ada tanda-tanda inflasi akan meningkat karena adanya kenaikan harga bahan makanan global. Sejauh ini ekspektasi inflasi masih terjaga di Asia didukung oleh stabilnya harga beras lokal. Meskipun demikan kenaikan bahan makanan global dapat berpengaruh terhadap beberapa negara meskipun permintaan domestik stabil karena tingginya pengaruh bahan makanan dan bahan bakar dalam CPI basket, termasuk di India dan negara-negara low-income di Asia. Dalam kasus ini akan ada risiko budget dari subsidi energi dan bahan makanan juga terhadap implikasi sosialnya. IMF memperkirakan pengaruh kenaikan harga bahan makanan terhadap inflasi sebesar 10-20% setahun setelah terjadinya shock.
- Masih kecil kemungkinan di Cina terjadi hard landing, namun tetap dapat berdampak besar. Cina telah menjadi mesin pertumbuhan yang penting bagi kawasan dan terjadinya hard landing dapat memberikan dampak kepada ekonomi kawasan dan selebihnya. Setiap satu persen penurunan pertumbuhan investasi di Cina dapat menurunkan pertumbuhan GDP lebih dari setengah persentase pertumbuhan selama empat kuartal di negara-negara yang memiliki keterkaitan supply chain dengan Cina, termasuk Korea, Malaysia, dan Taiwan.
Tantangan Kebijakan Jangka Pendek
- Stance kebijakan moneter secara umum lebih akomodatif dibandingkan dengan yang dianjurkan dalam estimasi Taylor rule, dan dapat sebagai jaminan menghadapi downside risk. Dibandingkan dengan pemotongan rate pasca-shock Lehman masih ada ruang kebijakan di sebagian besar negara Asia Pasifik untuk memotong tingkat suku bunga akibat global downturn.
- Keseimbangan risiko dan scope kebijakan moneter berbeda di tiap negara Asia
o Di Jepang kebijakan monetary easing sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan keluar dari deflasi. Kebijakan easing harus terus dilanjutkan untuk mencapai target inflasi 1% yang ditetapkan BOJ serta efektif dalam konteks reformasi fiskal secara struktural.
o Di negara-negara Asia Pasifik lainnya jika target aktivitas ekonomi tidak mencapai proyeksi masih terus akan diperlukan kebijakan easing jika tingkat inflasi masih berada pada ‘zona nyaman’ dan stance moneter mendekati netral (seperti Korea dan Malaysia). Di sisi lain di negara-negara dengan tingkat inflasi yang tinggi (seperti India dan Vietnam) dan pertumbuhan kredit yang tinggi (Indonesia) manuver kebijakan menjadi terbatas meskipun pertumbuhan kredit melambat di beberapa bulan terakhir yang sejalan dengan pertumbuhan GDP nominal.
o Untuk mencapai stabilitas finansial, tindakan makroprudensial menjadi pelengkap dari kebijakan moneter yang ada, seperti yang dilakukan Cina dalam menahan kredit real estat dan pembiayaan pemerintah daerahnya. Sama pentingnya dengan monitoring risiko terkait harga bahan makanan.
- Kecepatan konsolidasi fiskal dibutuhkan. Struktur defisit yang lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis menandakan pentingnya space fiskal. Ekspektasi terhadap perbaikan struktural keseimbangan fiskal kawasan di tahun 2013 diperlukan sesuai proyeksi baseline. Jika ekonomi melemah, stabilizer otomatis dapat sebagai lini pertahanan pertama. Karena scope stabilizer cukup terbatas di EM Asia terutama jika dibandingkan dengan negara advanced economies, maka negara-negara dengan space fiskal yang lebih besar harus membangun discretionary plan serta siap untuk diimplementasikan jika ekonomi memburuk.
Menjaga Prospek Pertumbuhan Jangka Menengah
- Terjaganya tingkat pertumbuhan yang tinggi dalam jangka menengah tidak terjadi secara serta merta. Besarnya skala dampak perlambatan di beberapa perekonomian di Asia telah menarik perhatian bahwa ada kemungkinan bukan siklikal. Bahkan di seluruh dunia dan beberapa negara di Asia, proyeksi jangka menengah terhadap pertumbuhan ekonomi direvisi turun. Reformasi struktural memainkan peran penting dalam penguatan fundamental ekonomi di Asia dan menjadikan kawasan sebagai pionir proses recovery atas turbulensi global beberapa tahun terakhir. Pada derajat tertentu, resiliensi ekonomi emerging satu dekade ini termasuk di Asia merefleksikan minimnya peluang terjadinya adverse shock terhadap funding dan term of trade.
- Banyak negara di Asia yang telah sampai pada tahap ekonomi yang rentan terhadap risiko jatuh ke dalam jebakan negara middle income. Fenomena ini menggambarkan negara dengan pertumbuhan yang tinggi namun stagnan pada level middle income dan gagal untuk tumbuh menjadi negara high income. Dan kejadian stabilnya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara middle income lebih banyak terjadi dibandingkan dengan negara higher dan lower income. Untuk menjaga tingkat pertumbuhan dalam jangka menengah perlu adanya diversifikasi agenda kebijakan dalam bagian-bagian yang berbeda di negara Asia, mulai dari rebalancing ekonomi sampai kepada penguatan sumber investasi swasta, untuk mereformasi pasar barang dan tenaga kerja dan menghadapi peluang dan tantangan dari perubahan demografi. Perhatian terhadap bottleneck infrastruktur tetap menjadi tantangan termasuk di ASEAN. Tindakan kolektif dapat membantu dan Asia dapat mengambil pelajaran berharga dari rekam jejak integrasi perdagangan kawasan.
- Reformasi fiskal tetap memegang peran penting dalam mencapai resiliensi ekonomi yang lebih kuat dan pertumbuhan yang inklusif termasuk dengan reorientasi anggaran pemerintah pada investasi dalam jaring pengaman sosial dan infrastruktur yang utama. Penguatan dan perbaikan efisiensi penerimaan pemerintah tetap menjadi prioritas di negara-negara di kawasan, tidak hanya bagi negara low income, untuk membiayai pembangunan, tapi juga seperti Jepang bahwa pajak konsumsi yang naik 2x lipat dapat sebagai langkah awal strategi fiskal jangka yang lebih panjang yang kredibel untuk mencapai keberlangsungan public debt.
Pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Pasifik mengalami perlambatan akibat lesunya ekonomi global didukung oleh faktor domestik di Cina dan India yang berdampak kepada kawasan. Namun demikian beberapa negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina) menunjukkan resiliensi yang kuat terhadap momentum global weakening karena sokongan dari investasi publik. Secara umum pada semester awal tahun 2012 pertumbuhan GDP di Asia menuju titik terendah sejak krisis finansial global tahun 2008. Dalam konteks ini, dengan kondisi tekanan inflasi dan easing, stance makroekonomi diarahkan untuk mendukung penguatan domestic demand dan easing policy untuk mengantisipasi pelambatan global. Sejauh ini kondisi finansial tetap akomodatif serta capital inflow tetap berlanjut. Ke depan pertumbuhan akan naik perlahan. Tahun depan Asia tetap akan tumbuh lebih cepat 2% dari rata-rata dunia dan menjadi pemimpin pertumbuhan global. Dalam lingkungan ketidakpastian ini kebijakan makro diarahkan kepada pertumbuhan yang non-inflationary, menjaga stabilitas finansial, dan tetap responsif terhadap kemungkinan downsized risk. Reformasi struktural dan fiskal untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif dan sustainable tetap menjadi prioritas.
Perkembangan Terkini
- Pertumbuhan ekonomi di Asia lebih lambat dari perkiraan akibat pelemahan global ini. Meskipun sudah terdapat rebound akan tetapi aktivitas tetap berjalan lambat. Spillover dari sisi perdagangan akibat lemahnya Eurozone masih akan terasa di Asia. Secara umum Asia tumbuh rata-rata 5,5% yoy pada semester I-2012 masih lebih tinggi dari rata-rata global namun masih tetap paling lambat sejak dimulainya krisis tahun 2008. Faktor domestik terutama di Cina dan India menyebabkan sentimen investor menjadi terganggu. Di Jepang pelemahan konsumsi menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan pada pertengahan awal tahun 2012.Beberapa neara di ASEAN telah mendorong trend regional untuk dapat tumbuh mendekati kemampuan potensialnya didukung oleh investasi publik. Australia juga merasakan pertumbuhan yang cukup baik didorong oleh investasi pertambangan yang membaik.
- Akibat dari lemahnya aktivitas global dan turunnya harga komoditas dunia, tingkat inflasi menjadi turun di awal 2012 mendorong bank sentral untuk tetap mempertahankan kebijakan moneternya atau bahkan memangkas tingkat suku bunga. Stance kebijakan makro yang akomodatif dengan kebijakan lending rate yang berada 150 bps di bawah tingkat sebelum 2008 kondusif dalam mendukung permintaan domestik, ditambah lagi dengan meningkatnya penjualan ritel, stabilnya pertumbuhan kredit swasta dimana di ASEAN beberapa negara masih memiliki rasio kredit/GDP di bawah rata-rata. Tingkat pengangguran juga masih rendah, relatif sama dengan sebelum 2008.
- Capital inflow tetap berlanjut merefleksikan kebijakan easing yang telah dilakukan menyikapi volatilitas di awal 2012. Shifting pada aliran portfolio yang didorong pada adanya perpindahan aliran equity serta pasar local bonds Asia yang masih atraktif menandakan fundamental yang relatif kuat dalam pasar investasi di Asia. Tingkat sovereign bond dan spread CDS telah kembali kepada tingkat rendah semasa pre-krisis. Proses deleveraging bank-bank Eropa di pasar Asia yang sempat terhenti di triwulan pertama 2012 telah berdampak pada sistem keuangan kawasan meskipun dampaknya terasa di satu sisi saja seperti pada pembiayaan proyek jangka panjang. Klaim perbankan Eropa di pasar Asia relatif moderat dibandingkan di regional EM lainnya dan sebagian besar berbasis simpanan domestik. Peningkatan aktivitas cross-border didukung oleh balance sheet yang sehat dari perbankan di kawasan (terutama Jepang dan Australia) merupakan buffer tambahan.
Outlook dan Risiko
- Outlook jangka pendek tetap terlihat stagnan. Indikator utama yang menggambarkan variabel aktivitas industri di Asia baik negara-negara large exporter maupun small exporter menunjukkan momentum stabilisasi di tw3 – tw4-12. Pertumbuhan yang stabil dari tingkat inventory mendorong perbaikan prospek pertumbuhan termasuk di Cina. Setelah sempat melambat pada tahun 2011, pertumbuhan di Asia diperkirakan stabil pada tingkat 5,5% lebih rendah 0,5% dari tahun 2011. Pertumbuhan akan terjadi sampai dengan 6% pada tahun 2013 didorong oleh menguatnya external demand. Hal ini dapat terjadi dengan bantuan bank sentral perekonomian utama di kawasan dalam menciptakan kebijakan makroekonomi yang akomodatif. Setidaknya sampai 3 tahun ke depan pertumbuhan di Asia masih berada di bawah level sebelum krisis. Jepang sedikit berbeda dari trend regional karena kinerja peningkatan ekspor tertutup oleh pengeluaran rekonstruksi pascabencana alam. Surplus current account baik di EM dan NIE Asia meskipun masih akan naik namun masih tetap akan lebih rendah di tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2011.
- Risiko terhadap outlook ini masih dalam batas wajar. Masih tetap ada risiko turun, meskipun kondisi moneter yang akomodatif dan capital flow meingkatkan peluang bahwa pertumbuhan di Asia lebih baik lagi jika pengambil kebijakan di US dan EU tetap menjalankan komitmen. External demand yang kuat masih tergantung dari kebijakan easing di EU dan bagaimana US menghindari kondisi fiscal cliff. Meskipun demikian IMF masih memprediksikan masih akan ada peluang 1/7 kondisi pertumbuhan Asia jatuh dibawah 4% di tahun 2013 mendekati tingkat observasi tahun 2009 saat kejatuhan Lehman Brothers. Dengan menggunakan skenario ‘weak policies’ dan tingkat kredit yang rendah, tingkat spread sovereign dan corporate di EM, IMF mengestimasi bahwa pertumbuhan GDP di Asia turun sebesar 1% di bawah proyeksi baseline (IMF-WEO Oktober 2012). Kawasan ekonomi lain akan mendapat pengaruh lebih besar karena linkage perdagangan dan keuangan dengan Eropa yang cukup besar.
- Risiko dari channel perdagangan masih akan tetap kuat. Sekitar 2/3 ekspor EM Asia terhubung dengan Eropa dan AS saja. Oleh karena itu turunnya external demand termasuk dampak turunnya investasi dan employment di sektor terkait ekspor dapat memberikan dorongan menurun yang kuat terhadap kinerja negara open economies di Asia akibat adanya perlambatan global dan dan eskalasi krisis euro-asia dan shock fiskal di AS.
- Terkait risiko channel finansial, masih ada risiko dari proses deleveraging yang agresif dari Eropa. Meskipun fundamental ekonomi dan kebijakan di Asia dapat menjadi buffer dari spillover di pasar keuangan, deleveraging yang agresif dari perbankan Eropa dan pelarian modal dari Asia ke safe haven tradisional lainnya dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan Asia. ASEAN dan EM Asia timur (selain Cina) berpotensi terkena dampak yang cukup besar karena tingkat sensitivitas finansial terhadap shock dari advanced economies cukup tinggi sebelumnya.
- Kenaikan harga bahan makanan dan minyak dapat berdampak downside risk dengan turunnya permintaan domestik dan keterbatasan kebijakan moneter untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ada tanda-tanda inflasi akan meningkat karena adanya kenaikan harga bahan makanan global. Sejauh ini ekspektasi inflasi masih terjaga di Asia didukung oleh stabilnya harga beras lokal. Meskipun demikan kenaikan bahan makanan global dapat berpengaruh terhadap beberapa negara meskipun permintaan domestik stabil karena tingginya pengaruh bahan makanan dan bahan bakar dalam CPI basket, termasuk di India dan negara-negara low-income di Asia. Dalam kasus ini akan ada risiko budget dari subsidi energi dan bahan makanan juga terhadap implikasi sosialnya. IMF memperkirakan pengaruh kenaikan harga bahan makanan terhadap inflasi sebesar 10-20% setahun setelah terjadinya shock.
- Masih kecil kemungkinan di Cina terjadi hard landing, namun tetap dapat berdampak besar. Cina telah menjadi mesin pertumbuhan yang penting bagi kawasan dan terjadinya hard landing dapat memberikan dampak kepada ekonomi kawasan dan selebihnya. Setiap satu persen penurunan pertumbuhan investasi di Cina dapat menurunkan pertumbuhan GDP lebih dari setengah persentase pertumbuhan selama empat kuartal di negara-negara yang memiliki keterkaitan supply chain dengan Cina, termasuk Korea, Malaysia, dan Taiwan.
Tantangan Kebijakan Jangka Pendek
- Stance kebijakan moneter secara umum lebih akomodatif dibandingkan dengan yang dianjurkan dalam estimasi Taylor rule, dan dapat sebagai jaminan menghadapi downside risk. Dibandingkan dengan pemotongan rate pasca-shock Lehman masih ada ruang kebijakan di sebagian besar negara Asia Pasifik untuk memotong tingkat suku bunga akibat global downturn.
- Keseimbangan risiko dan scope kebijakan moneter berbeda di tiap negara Asia
o Di Jepang kebijakan monetary easing sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan keluar dari deflasi. Kebijakan easing harus terus dilanjutkan untuk mencapai target inflasi 1% yang ditetapkan BOJ serta efektif dalam konteks reformasi fiskal secara struktural.
o Di negara-negara Asia Pasifik lainnya jika target aktivitas ekonomi tidak mencapai proyeksi masih terus akan diperlukan kebijakan easing jika tingkat inflasi masih berada pada ‘zona nyaman’ dan stance moneter mendekati netral (seperti Korea dan Malaysia). Di sisi lain di negara-negara dengan tingkat inflasi yang tinggi (seperti India dan Vietnam) dan pertumbuhan kredit yang tinggi (Indonesia) manuver kebijakan menjadi terbatas meskipun pertumbuhan kredit melambat di beberapa bulan terakhir yang sejalan dengan pertumbuhan GDP nominal.
o Untuk mencapai stabilitas finansial, tindakan makroprudensial menjadi pelengkap dari kebijakan moneter yang ada, seperti yang dilakukan Cina dalam menahan kredit real estat dan pembiayaan pemerintah daerahnya. Sama pentingnya dengan monitoring risiko terkait harga bahan makanan.
- Kecepatan konsolidasi fiskal dibutuhkan. Struktur defisit yang lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis menandakan pentingnya space fiskal. Ekspektasi terhadap perbaikan struktural keseimbangan fiskal kawasan di tahun 2013 diperlukan sesuai proyeksi baseline. Jika ekonomi melemah, stabilizer otomatis dapat sebagai lini pertahanan pertama. Karena scope stabilizer cukup terbatas di EM Asia terutama jika dibandingkan dengan negara advanced economies, maka negara-negara dengan space fiskal yang lebih besar harus membangun discretionary plan serta siap untuk diimplementasikan jika ekonomi memburuk.
Menjaga Prospek Pertumbuhan Jangka Menengah
- Terjaganya tingkat pertumbuhan yang tinggi dalam jangka menengah tidak terjadi secara serta merta. Besarnya skala dampak perlambatan di beberapa perekonomian di Asia telah menarik perhatian bahwa ada kemungkinan bukan siklikal. Bahkan di seluruh dunia dan beberapa negara di Asia, proyeksi jangka menengah terhadap pertumbuhan ekonomi direvisi turun. Reformasi struktural memainkan peran penting dalam penguatan fundamental ekonomi di Asia dan menjadikan kawasan sebagai pionir proses recovery atas turbulensi global beberapa tahun terakhir. Pada derajat tertentu, resiliensi ekonomi emerging satu dekade ini termasuk di Asia merefleksikan minimnya peluang terjadinya adverse shock terhadap funding dan term of trade.
- Banyak negara di Asia yang telah sampai pada tahap ekonomi yang rentan terhadap risiko jatuh ke dalam jebakan negara middle income. Fenomena ini menggambarkan negara dengan pertumbuhan yang tinggi namun stagnan pada level middle income dan gagal untuk tumbuh menjadi negara high income. Dan kejadian stabilnya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara middle income lebih banyak terjadi dibandingkan dengan negara higher dan lower income. Untuk menjaga tingkat pertumbuhan dalam jangka menengah perlu adanya diversifikasi agenda kebijakan dalam bagian-bagian yang berbeda di negara Asia, mulai dari rebalancing ekonomi sampai kepada penguatan sumber investasi swasta, untuk mereformasi pasar barang dan tenaga kerja dan menghadapi peluang dan tantangan dari perubahan demografi. Perhatian terhadap bottleneck infrastruktur tetap menjadi tantangan termasuk di ASEAN. Tindakan kolektif dapat membantu dan Asia dapat mengambil pelajaran berharga dari rekam jejak integrasi perdagangan kawasan.
- Reformasi fiskal tetap memegang peran penting dalam mencapai resiliensi ekonomi yang lebih kuat dan pertumbuhan yang inklusif termasuk dengan reorientasi anggaran pemerintah pada investasi dalam jaring pengaman sosial dan infrastruktur yang utama. Penguatan dan perbaikan efisiensi penerimaan pemerintah tetap menjadi prioritas di negara-negara di kawasan, tidak hanya bagi negara low income, untuk membiayai pembangunan, tapi juga seperti Jepang bahwa pajak konsumsi yang naik 2x lipat dapat sebagai langkah awal strategi fiskal jangka yang lebih panjang yang kredibel untuk mencapai keberlangsungan public debt.
Comments
Update donk, Mas adi